Idul Adha tertunda
Bulan sudah berayun
Menuju akhir waktu
Dzulqo’dah berlalu
Menapaki nafas kehidupan berliku
Seeketika datang secercah langkah
Beberapa lembar dinar menyapa hidup
Rasa ingin duduk di surga
Berharap bersua dengan ilahi
Tapi daya tak sampai
Terbengakalai
Terhalang jumlah tak memadai
Takdirkah ini yang merana
Tapi harus tak mengapa
Dimana ladang nikmat terbentang kuat
Menanti tangan asa dan cinta
Kalaupun laukhil mahfuz
Telah di ukir janji
Pasti kan ada tahun ini
Idul adha yang tertunda
Menancapkan pisau dileher kebodohan
Menyembelih kesombongan
Mengucurkan darah nafsu duniawi
Membagi daging, menjemput bidadari
Surabaya, 12 nopember 2009
Bulan bersanding
Bulan benderang, dipandang beribu ujung dunia
Disini orang milihat bulan
Di sebrang ada pula yang merasa memiliki pula
Tak hanya itu
Berkacak pinggang
Bulan yang ku lihat paling benderang
Sukar, sulit, pandai, congkak
Sekelumit hijab membendung kehendak
Tak dimengerti
Tapi bisa dipahami
Suaratan telah menggariskan,
Namun wajib harus ditunaikan
Merngkai bulan
Ditengah egoisme para penikmat malam
Jika telah bersanding
Bersandung
Bersandang
Walaupun ego tertancap kuat
Buah jatidiri berjalan meniti hari
Malam kelam laksana siang menari
Ho..... para penikmat bulan
Pengamat, peneliti sang pelita malam
Leburkan pandangan dan tujuan
Betapa harus hancur badan
Melebur....
Hancur....
Luluh...
Menyatu dalam rengkungan ilahi
Menggapai ma’rifat hakiki
Bersatu, menegakkan takdir
Bersama membangun cita
Surabaya, 12 nopember 2009