SESANTI

SURA DIRA JAYANINGRAT LEBUR DENING PANGASTUTI

SASTRA

IZIN SHARING

SERAT SANA SUNU

DHANDHANGGULA
1. Dengan disertai doa agar dijauhkan dari bahaya dan disucikan oleh Sang Mahakuasa,
hendaknya berhasil baik dalam menyusun rangkaian nasehat atau petuah ini, supaya dapat
dijadikan pelajaran bagi anak cucu di kemudian hari. Pembuatan buku ini ditandai dengan
sangkalan tahun, Sapta Catur Swareng Janmi atau tahun 1747 Jawa (tahun 1819 M). Penggubah
memaksa diri untuk memberi nasehat kepada anak-anak yang telah berumur supaya mereka
selamat dari segalanya. Sang Pujangga berusaha berbuat demikian karena bermaksud, agar
petuahnya dapat menjadi teladan bagi kita yang hidup ini. Bukankah kita selalu berharap, agar
hidup kita selamat. Maka kita diminta supaya dapat menerima petunjuk yang berupa nasehatnasehat
ini. Adapun nasehat-nasehat tersebut dibuat dengan didasari kesabaran dan kejujuran,
agar dapat menimbulkan gairah serta ketekunan. Lama-kelamaan hasil itu dapat menjadi neraca
dan dapat mengikatnya seperti tali. Penggubah atau penulis petuah ini, tiada lain ialah Kyai
Yasadipura, dengan diiringi ucapan wahai seluruh anak cucu kami laksanakanlah hal-hal seperti
terurai di bawah ini. Bagaimanakah seharusnya tindakan orang hidup itu, maka untuk dapat
dikenang, nasehat-nasehat tersebut dibagi dalam 12 macam :
2. Pertama : Mengingatkan kita bahwa kita ini adalah umat.
Kedua : Kita harus ingat bahwa kita telah mendapatkan sandang dan pangan.
Ketiga : Kita wajib berusaha, terutama sandang dan rejeki yang harus keluar dari jerih payah
sendiri.
Keempat : Atas perintah Tuhan kita diseyogyakan masuk Islam mengikuti jejak Nabi Muhammad.
Kelima : Pakaian dan kegemaran.
Keenam : Menyangkut cara bergaul dengan sesama umat.
Ketujuh : Bagaimana jika makan di rumah, tidur, berjalan dan berpakaian, jika pergi dari rumah.
Kedelapan : Mengenai penyambutan tamu.
Kesembilan : Bagaimana orang bertutur kata dan mengeluarkan pendapat.
Kesepuluh : Besar kecilnya martabat manusia sebagai makhluk Tuhan.
Kesebelas : Sebab-musabab adanya makhluk Tuhan, turunnya derajat, dan berubahnya wahyu.
Keduabelas : Perubahan dunia.
0 Lainnya Blog Berikut»
Untuk jelasnya, tiap-tiap macam atau bab itu diterangkan satu demi satu.
I. Pertama
Diingatkan bahwa kita dijadikan oleh Tuhan dari semula tidak ada, kemudian dijadikan manusia
berasal dari sinar Kangjeng Nabi Muhammad. Untunglah
3. bahwa kita ini tak dijadikan oleh Allah menjadi hewan. Oleh sebab itu kita wajib mengucap
syukur, kepada Yang Mahakuasa, dan harus selalu menjaga hidup kita. Hati bulat pasrah terhadap
Nya, dan tak boleh mendendam sebab bila ada kehendak Tuhan sewaktu-waktu mengambil
nyawa kita, kita tentu akan menghadapnya.
Memang hidup manusia ini mengenai usia panjang pendeknya tak dapat ditentukan. Oleh karena
itu janganlah mengira bahwa kita ini akan hidup lama, dan pula jangan mengira bahwa kita
hidup hanya sebentar saja. Ini bukan urusan kita, tentang usia panjang dan pendek itu memang
sudah takdir. Hanya kita diminta memikirkan tentang mati dalam hidup. Artinya mematikan
hawa nafsu. Karena kita ini dijadikan oleh Tuhan, maka tak usah khawatir. Kita diberi
kemampuan, oleh sebab itu asal dengan keinginan yang betul-betul, maka kita pasti dapat
melaksanakannya.
II. Kedua
Manusia (kita) dilahirkan di dunia dengan diberi sandang dan pangan harus diingat bahwa
sandang lebih dahulu (tua) daripada pangan. Seperti halnya manusia yang lahir dari rahim ibu,
masih bayi bukannya terus disuapi, melainkan disiapkan lebih dahulu lampin-lampinnya. Itulah
sandang, pangan, kekayaan dan rejeki, semua tadi adalah pemberian
Tuhan.
Disini dapat diibaratkan bahwa kekayaan adalah sebagai istri tua, sedang rejeki sebagai istri
muda, dan kita harus dapat mengasuh keduanya. Kekayaan atau keduniawian yang
diumpamakan sebagai istri tua tadi, akan ikut serta selama kita hidup sampai mati. Sedangkan
rejeki yang seakan-akan menjadi istri muda akan menjadi kekuatan hidup kita. Manusia harus
dapat mengasuhnya, dan jangan sampai keduanya itu patah hati.
4. Apabila kedua pemberian tadi pergi (lepas), maka hilangnya akan cepat sekali, bagaikan kilat
menyambar saja, dan kita tak mungkin dapat mengejarnya. Badan kita akan terseret, rusak, dan
akhirnya menjadi hina. Selanjutnya manusia akan selalu ragu-ragu dan gelisah, selalu salah
pengertian. Apa saja yang diinginkannyaluput, menggapai-gapai tak sampai. Itulah akibat tak
tahan ditinggalkan oleh kedua istri tersebut. Sehingga menyebabkan hilangnya rasa
kemanusiaan, suka mengambil istri orang lain, tak ubahnya seperti binatang yang berada di
hutan saja.
Apa yang dikerjakan kemudian; tiada lain menjambret, menggunting, mencuri. Padahal kalau itu
diketahui, umur kitalah yang menjadi ganti. Jasad kita akan tersia-sia terkapar seperti hewan.
Oleh sebab itu, penulis mengingatkan kita, supaya melaksanakan cara mengasuh pemberian
tersebut dengan baik, yaitu secara mengasihi keduanya. Tetapi harus diingat, bahwa kedua istri
itu jangan sampai pergi, karena terlalu kita kasihi. Orang tak boleh selalu berkasih mesra,
memanjakan kekasih, mengabulkan semua kehendaknya, sehingga lupa kepada yang memberi
(Tuhan). Tindakan yang demikian, yang mengutamakan kemewahan dan seolah-olah itulah yang
disembah, dapat menyebabkan kelemahan diri, dan orang akan menemui sial. Dia tak dapat
berjalan karena kegemukan, serta kekenyangan, sehingga apabila berjalan akan terjungkal
menggelundung masuk ke dalam jurang. Disana terbentur batu, hancur, dan celakalah dia tak
berharga sama sekali. Badan sengsara tak ada yang memperhatikan.
5. Oleh karena itu kita tidak boleh berbuat demikian, sedang-sedang sajalah. Rejeki dan
kekayaan itu jangan terlalu kita cintai.
III. Ketiga
Allah memerintahkan supaya manusia mencari sandang pangan dari hasil jerih payah sendiri. Di
dunia ini banyak sekali pekerjaan untuk mencukupi sandang pangan. Sedang yang terbaik, sekali
lagi adalah hasil yang keluar dari cucuran peluh sendiri.
Mengenai orang mencari nafkah mempunyai batas-batas tersendiri, yaitu orang laki-laki memikul
kayu, dan yang perempuan menggendong tenggok (bakul).
Demikianlah ibarat jika badan sedang sial, maka laki-perempuan masing-masing menggendong
dan memikul. Lain halnya, bila baru diistimewakan oleh Tuhan, maka mencari sandang pangan
pun sangat mudah. Tetapi andaikata mudah, orang harus waspada. Sebab uang yang tidak halah,
biar banyak, tetapi belum sah jangan mau, dan jangan diambil. Lebih baik uang itu sedikit,
tetapi diperoleh dari penghasilan sendiri, artinya pendapatan yang sah menurut hukum.
Penulis berpesan, bila orang mencari nafkah, janganlah dengan cara meminjamkan uang dengan
berbunnga. Sebab biarpun itu cepat kaya tetapi cara tadi tidak layak dilakukan. Hal itu dapat
menyebabkan sengsara, karena cara tersebut bukan peninggalan nenek moyang. Dikatakan
disini, bahwa pekerjaan yang baik itu bersawah, bertanam padi, pokoknya menjadi petani.
Bersawah memang rangkaian pekerjaannya, banyak yang perlu dilaksanakan dengan rajin dan
tekun. Ya, memang berat orang mencari penghasilan itu.
6. Orang mencari nafkah tidak boleh dianggap ringan, sebab manusia itu berakal. Jika tak
berhasil dengan cara begini atau begitu, coba dengan cara lain sehingga berhasil. Lain halnya
dengan hewan yang tak berakal, mencari makan hanya dengan mulutnya saja. Dating di tempat,
terus makan daun ataupun rumput.
Sesudah berhasil, orang harus menerimanya dengan besar hati dan mengucap syukur kepada
Tuhan. Biar hasil itu hanya sedikit tetapi itu adalah pemberian Allah. Masih untung diberi,
daripada tidak. Seperti halnya mereka yang tak dapat mencari rejeki, yang penghasilannya
hanya dari meminta-minta saja. Itu sebenarnya diberi, tetapi rahmat Tuhan yang baik itu putus
tidak diteruskan. Hasilnya sudah diambil, tentu saja terhalang tak dapat diperoleh, hal ini
karena anugerah Allah telah dilepaskannya.
Akal orang tersebut sudah keruh, sebab ketika masih anak-anak memang kurang ajar. Setelah
tua terikat iblis, dengan demikian ia tak mampu berbuat apapun. Andaikata dia itu mau berbuat
sesuatu, jika memang tidak dapat bersawah, ya menjadi tukang pandai besi, ataupun membuat
barang-barang dari tembaga, dan lain-lain. Sebenarnya kalau dia belum dapat seharusnya
belajar lebih dahulu. Pekerjaan bagi manusia itu banyak, baik yang ringan maupun berat.
Misalnya mengabdi, ya harus mau mendekat, rajin mengawal serta berhati jujur. Manusia
diingatkan, bahwa mereka harus sadar bahwa orang itu mudah sekali sial.
Tidak boleh membanggakan, bahwa bapak ibu
7. masih hidup, masih ditunggui, dan cukup mengabdi majikan dengan baik. Bila demikian
keinginan manusia, budinya akan sempit, kosong, tak berilmu, karena hanya membanggakan
bahwa masih muda.
SINOM
IV. Keempat
Hal yang keempat menyangkut : bahwa karena titah Tuhanlah maka orang harus masuk Islam,
mengikuti Kanjeng Nabi Muhammad s.a.w. Tidak boleh meninggalkan sarengat maupun perintah
Nabi baik yang tergolong sunah, wajib, wenang, dan mokal. Harus berusaha dapat melakukan
mana yang batal, haram, halal, musabiyah, dan jangan lupa akan kelima rukun Islam itu. Jika
tak dapat menunaikan rukun Islam yang kelima, berarti tak dapat ke Baitullah (kabah) naik haji,
maka keempat rukun Islam yang lain itu sajalah jangan sampai diabaikan.
Sarengat merupakan tindakan badaniah, tarekat tindakan batiniah, sedang hakekat adalah ulah
nyawa dan makripat ulah rasa, semua tadi harus diketahui cara-cara melakukannya. Sarengat
tak boleh ditinggalkan, karena dapat menyebabkan dirinya lemah. Tentu saja tidak akan
mungkin menyamai sarengat Nabi, itu dilarang dan juga tak akan mampu. Kecuali kalau orang
itu memang dikehendaki Allah menjadi mukmin sejati, atau orang yang benar-benar percaya
pada Allah. Orang harus beragama, tidak boleh menyembah berhala. Lagi pula tak boleh kafir,
dan tidak boleh melanggar peraturan agama. Karena dasar manusia itu memang lemah, ya
paling tidak tentu berbuat maksiat atau tindakan yang berdosa. Kalau hanya berbuat maksiat
saja, mungkin penyesalan yang dilakukan siang malam atas dosa-dosanya yang telah
dilakukannya akan diampuni Tuhan.
8. Tetapi jika orang kafir, menyembah berhala, sukarlah mendapatkan ampun. Padahal kalau
penyesalan atas dosanya itu tak diterima Tuhan, maka bencanalah yang akan ditemuinya.
Sarengat merupakan wadah sopan santun, sekali lagi tak boleh ditinggalkan. Orang meninggalkan
sopan-santun, tidak mustahil menjadi tempat setan, tempat dosa yang besar. Kangjeng Rasul
akan marah kepada orang itu.
Kemurkaan Rasullollah berarti pula kemurkaan Tuhan ; ya allah ya Rasullollah. Sebab itu orang
harus ingat dan percaya aka nisi kitab, dan siapa yang tak dapat melakukan hal itu, jangan
mencela dan menegurnya.
Memang ada sementara orang yang menertawakan orang bersembahyang. Dia itu kerasukan
setan, justru dia sendiri tidak menjalankannya. Ada juga yang menjalankan sembahyang, tetapi
suku berolok-olok, menertawai orang lain. Ini seperti halnya orang minum arak (minuman keras),
yang berolok-olok sambil mengatakan bahwa minum arak itu tidak haram, melainkan halal.
Orang yang menyatakan demikian tadi berbuat dosa dua kali. Pertama menghalalkan minumam
keras, kedua ia sendiri justru minum arak yang merupakan minumam larangan. Sebab itulah
orang harus berhati-hati, tidak seenaknya berbicara dan melanggar larangan-larangan. Barang
terlarang tak boleh dilakukan, pertama haram, kedua tidak berguna.
Hal yang tak penting hanya dibuat porak poranda, sesuka hati, yang sebenarnya tidak seimbang
9. dengan dosanya. Sudah jelas bahwa orang minum arak itu pasti mabuk. Jika mabuknya tidak
baik, maka badan menjadi rusak, hati bergejolak seperti akan menelan bumi, sopan-santun dan
kehati-hatiannya sudah hilang.
Jika mabuknya orang itu baik, maka badannya hanya lemas saja tak berdaya. Kekhusukannya
terhadap Tuhan berkurang, hatinya menjadi bingung, lupa bagaimana cara mencari tindakan
yang betul. Orang yang lupa kepada Tuhan berarti menghilangkan perbuatan baik, dia akan rugi
tak mendapat untung, tidak kasihan serta mempersakit diri sendiri.
Dituturkan bahawa mabuk itu ada lima macam :
Pertama, mabuk pada minuman keras. Telah diuraikan di depan bahwa akibatnya tidak baik.
Kedua, mabuknya orang muda dan lagi berwajah tampan, bahkan dalam berpakaian pun tidak
kekurangan. Pada perasaannya tak ada orang lain yang tampan selain dirinya. Hanya dia
sendirilah yang rupawan. Itulah dia orang yang mabuk, yang selalu memperhatikan diri sendiri
saja. Sebenarnya yang disebut bagus itu ada dua hal : (1) Kebagusan wajah ; (2) Kebagusan hati.
Walaupun wajahnya tampan tetapi berhati jahat, tentu menjadi orang jahat pula. Semua
tindakannya rusuh, hatinya penuh angkara murka. Itulah mabuknya orang muda, apa yang
dikerjakan serba kuat dan tanpa perhitungan. Sungguh semua hal
10. tadi jelas terhalang.
Ketiga, ialah mabuk akan kemewahan. Artinya senang akan mewah yang berlebih-lebihan.siang
malam ingin menikmati kemewahan itu, makan enak, tidur enak. Tak aka nada habisnya bila
orang yang mabuk kemewahan tersebut dibicarakan.
Keempat, yaitu mabuk yang timbul dari hawa nafsu. Nafsu yang berlarut-larut yang tak
dikendalikan sedikitpun, baik terhadap istri, pembantu, maupun orang lain. Kepada mereka dia
berbicara keras dan kasar serta ringan tangan. Belum tentu mereka itu salah, tanpa kesabaran,
tanpa diteliti lebih dahulu, belum selesai memeriksanya, sudah tergesa-gesa marah.
Kelima, ialah mabuk kesenangan, kesenangan apa saja yang melampaui batas.
Sebenarnya kelima macam mabuk tersebut, sama haramnya dengan mabuk arak. Semua
tindakan yang menyebabkan lupa terhadap Tuhan, tak boleh dilakukan. Apabila manusia telah
terbelenggu oleh kelima mabuk tadi, maka tak urung akan menjadi hina-dina, dan menderita
sengsara dunia. Tak usah menanti di akhirat, di duniapun sudah terjadi kesengsaraan yang timbul
karena melanggar larangan itu.
Penggubah mengingatkan bahwa haram itu bagaikan “aling-aling” atau penutup, jadi menutup
hati manusia sehingga lupa kepada Tuhan. Sedang halal itu termasuk baik, hati suci tiada
tertutup, tidak lupa kepada Tuhan.
11. Demikian bila orang dapat menjadi hamba Tuhan yang baik, maka dia akan menolak semua
barang yang terlarang jangan seperti ucapan orang sinting, yang mengatakan bahwa dengan
ucapan pun pasti diterima oleh Allah. Dikatakan oleh orang ahli hakekat (ilmu kenyataan) yang
menerima nasehat dari gurunya, bahwa haram suba’at itu tidak ada, semuanya dianggap halal.
Ucapan orang itu sungguh gila, ucapan orang yang telah terbelenggu setan, pasti nanti mendapat
murka dari Tuhan. Adapun tindakan yang baik ialah tindakan yang sungguh-sungguh mampu
sampai ke hakekat yang benar. Beralih ke ilmu makrifat (pandangan terhadap sifat-sifat Allah),
yang hanya dapat dikuasai oleh orang yang telah memperoleh kasih Tuhan.
Orang seperti itu, tindakan yang dianggap halal pun belum tentu mau melaksanakannya,
lebih-lebih tindakan yang haram. Bila orang dapat bertindak seperti tersebut, dan mendapatkan
wahyu Allah, maka orang itu sama derajatnya dengan wali. Wali suci yang menjaga semuanya.
Sesudah Rasullollah maka para wali suci itulah yang menjadi tiang langit dan dunia. Hal itu
terlalu muluk kalau ditiru, dan mustahil sekali dapat menirunya. Sebab manusia itu ringkih
(lemah), hanya saja jangan sampai memulai bersahabat dengan setan.
Kita tidak boleh minum candu. Memang “madad” itu tidak baik. Dan tak ada tempat baik bagi
mereka yang suka merokok yang memabukkan. Sebab bila orang sudah “menyandu”, bukannya
orang yang makan candu, melainkan candulah yang memakan orang. Jika sudah demikian maka
maut smerenggut, dan memang tak ada orang yang minum candu dapat memiliki umur panjang.
Hal seperti itu sama dengan menyiksa badan sendiri, serta di dalam peraturan agama termasuk
larangan.
Yang jelas “terlarang” adalah “mabuk” itu
12. sendiri, maka barang-barang yang memabukkan ikut pula dilarang. Membicarakan hinanya
orang makan candu tak aka nada habisnya, dan kita mengetahui akibat-akibat dari semua yang
pernah terjadi. Tetapi ada juga yang memberi tahu, bahwa candu itu sedikit halal, yaitu unutk
mencampuri obat anget. Candu dicampurkan sedikit saja ke dalam obat panas, dan memang
kemudian dapat menyembuhkan badan. Untuk itulah candu tadi boleh dipakai. Keterangan yang
menerangkan tentang halalnya candu itu termuat dalam kitab Sarahbayan.
Selanjutnya penggubah, menasehatkan agar kita (anak cucu) tidak melakukan judi, ini juga
termasuk kehidupan yang hina. Di dalam peraturan agama, judi memang benar-benar dilarang,
sebab kenyataannya orang jahat itu akibat dari minum candu dan berjudi ini.
Orang dilarang pula mendalami wuku tiga puluh, beserta dewa-dewa yang dipujanya itu. Dalam
sarak (peraturan agama) dianggap tidak baik, hal itu disebut kafir ; sebab seolah-olah mendua
dalam kepercayaan terrhadap Tuhan. Memang setengahnya orang dapat tertarik akan kelebihan
wuku, yang mengetengahkan semua peristiwa yang belum terjadi, misalnya kejadian bayi,
keadaan selama hidupnya, untung dan celakanya. Semua telah diungkapkan dalam wuku tadi
dan nyata tak ada yang salah.
Walaupun demikian orang tak perlu heran. Sebab
13. sudah ditandai dan termuat dalam wangsalan “Sembung gilang ing Palembang dipanggalit”
(sembung gilang adalah daun sigugu, dalam teks jatuh pada kagugu atau “dipercaya”.
Dipanggalit maksudnya “raja hutan kecil”,yaitu “singa”, dalam teks jatuh pada singa-singa atau
apa saja). Jadi semua berarti bahwa “apa saja yang benar-benar dipercaya tentu akan terlihat”.
Jangankan para dewa yang diciptakan lebih dari yang lain, sedangkan bebatuan, pepohonan jika
dipuja-puja dengan disertai setanggi serta diolesi wangi-wangian, tentu akan terbayang dalam
angan-angan. Demikian tadi menurut ucapan orang yang lemah. Sebenarnya semua itu karena
pengaruh perasaannya sendiri, dan itulah penyebab sering terjadinya penyimpangan agama,
justru semacam tradisi tadi.
Tetapi menurut ucapan orang ahli, ilmu semacam tersebut diatas, tidak diperbolehkan.
Demikian pula semua ilmu iladuni (membicarakan peristiwa yang belum terjadi). Ilmu
perhitungan dalam ilmu nujum yang merupakan ilmu awal pembuka segala yang serba gaib, yang
tak lain berasal dari Arab dari Nabi utusan kita itu.
Nenek moyang melarang akan pemakaian gamelan, terutama dalam hajat kerja perkawinan.
Meskipun orang yang mempunyai hajat itu mampu, tetapi dalam mengawinkan anknya, tak boleh
memakai gamelan. Hal ini merupakan larangan, yang tersurat, dalam kebiasaan hidup bagi
orang yang mengabdi raja. Orang boleh mempergunakan gamelan, bila dia mengadakan hajat
hanya khitanan atau selamatan menujuh bulan (orang hamil) saja.
Mempergunakan gamelan dianggap terlalu besar. Tetapi untuk mengikuti kebiasaan umum,
melanggar sedikit tak apalah, dengan cara mewakilkan. Hajat itu diwakilkan, supaya tidak
kentara semata-mata dari yang bersangkutan. Sementara gamelan berbunyi,
14. orang yang mempunyai hajat tadi, supaya berdoa kepada Tuhan mohon agar semua
diperkenankan. Selain itu juga mengirim doa pada para leluhur yang mempunyai pantangan itu,
dengan maksud agar terhindar dari bahaya. Cara itu dilaksanakan lima atau enam hari sebelum
gamelan dibunyikan, dan dengan sikap khidmad dilakukannya pada malam hari di tempat yang
sunyi.
Bagi orang awam, bila diperkenankan, maka disitu akan mendapatkan petunjuk/tanda yang
terlihat dalam mimpi. Mengenai tanda ini, bagi orang yang benar-benar beriman, para wali dan
para nabi, maka tentang ayat-ayat yang dianugerahkan kepada mereka, kebanyakan berujud
suara. Itu saja masih ada yang mengatakan bahwa wahyu, Nabi Ibrahim dan Nabi Yusup dahulu
itu diterimanya lewat mimpi juga.
Memang kadang-kadang demikianlah, yaitu ketika Malaikat Jabarail diperintahkan Allah untuk
memberikan wahyu. Tetapi sekarang setelah Nabi Muhammad, atas kehendak Tuhan cara itu
telah hilang.
Nafsu manusia ternyata makin besar, hingga menyebabkan hilangnya kewaspadaan dan ingatan.
Dia tak dapat mengetahui akan adanya wahyu berasal dari setan yang tak dapat dipercaya itu.
Angkara murka makin berkuasa, pencuri makin banyak, dan orang cerdik pandai makin terdesak,
hal ini ternyata tidak kekurangan, para ulama dan orang pandai serta bijaksana, mengatakan
bahwa banyak
15. sekali buku-buku yang memuat pelajaran tentang tindakan baik, tidak terkecuali dimuat juga
dalam bacaan tentang asmara.
ASMARADANA
Kyai Yasadipura menasehatkan agar orang rajin mempelajari ilmu, berguru kepada para ahli,
dan harus banyak bertanya, disertai sikap hormat dan tidak memperlihatkan bahwa dirinya
sebenarnya tahu juga. Dengan berlagak seperti orang bodoh, demikianlah sikap untuk
mendapatkan pelajaran dari orang lain.
Maksud selanjutnya ialah menyadarkan bahwa kebaikan dan kemuliaan orang dimulai dari lahir
di dunia sampai meninggal dan kemuliaan asal mula penciptaan manusia. Tidak cukup hanya
mengamati kitab saja, jika maknanya tidak dirasakan bahkan larangan-larangan di dalamnya
jarang dipatuhi juga.
Lagi pula bila kamu membaca dengan hati-hati kitab Nitisruti, Nitipraja, Sewaka, Wulangreh,
Panitisastra, Asthabrata dan kitab lama bahasa Jawa Kuna, tidak perlu selalu dilagukan dengan
berbagai gaya yang tidak berguna.
Orang muda jaman sekarang, memang senang bergaya dengan suara mengalun, mengombak,
hingga menutupi ketajaman rasa. Orang bergaya memang ada gunanya sedikit, ialah untuk
mempercepat pembacaan itu dan agar tidak hambar. Tetapi tidak boleh luput, apa yang dibaca
harus ingat dan tertanam dalam hati.
V. Kelima
Disini dikemukakan mengenai pakaian dengan larangan-larangannya, serta kegemarankegemaran
orang. Dalam berpakaian (berkain), orang dilarang memakai kain batik bercorak
Tambal. Misalnya : Tambal Sukaduka, Tambal Kanoman, Tambal Miring.
16. Kemudian kain lurik Tuluhsela, ikat pinggang batik (juga dilarang). Kalau tak mempunyai
yang berwarna hijau, kuning, ungu, atau berbunga, baik memakai yang putih saja. Kain “wulung”
(hitam agak kebiru-biruan) juga tak boleh dipakai, supaya orang itu tidak sial. Jangan
memelihara kuda hitam jika kamu memang tidak tangkas.
Jika mampu, kamu dapat mengenakn ikat pinggang cindhe dari negeri luar, hanya saja dilarang
memakai solok (sejenis ikat pinggang) Limar gedhog. Apa saja yang disukai boleh dipakai, selain
yang termasuk larangan tadi. Semua larangan raja, jangan sampai orange berani memakainya.
Dilarang pula memakai batik garapan orang (jaman) sekarang, baju batik Baron Sekender, yaitu
gambar orang-orangan. Pokonya gambar dari semua bentuk yang bernyawa itu haram
(terlarang).
Mustahil kalau kekurangan macam batik, disini ada corak lung-lungan, ceplokan dedaunan dan
lain-lain. Orang dilarang bersikeras meniru, yang berhak (raja), sebab mereka itu hanya abdi,
yang mudah celaka, busuk, dan rusak.
Rintangan yang sedang kita alami, berarti pula rintangan manusia. Keadaan yang tak menentu
bagi manusia itu sebenarnya hanyalah dat (sifat keadaan) saja, yang abadi tak akan rusak.
Sedang tugasnya adalah mewujudkan adanya sifat tersebut.
Larangan besar lagi ialah, bagi orang yang sedang tak mengenakan baju. Dia tak diperbolehkan
memakai
17. saputangan yang dikalungkan di leher. Sebab bila untuk bersembahyang selalu mengganggu,
lebih baik diletakkan di pundak kiri atau kanan, semaunya.
Jika berpakaian, seyogyanya yang sedang-sedang saja, baik kain maupun ikat kepalanya. Tidak
baik orang bersolek tiap pagi sore dan siang, seyogyanya hanya pada waktu tertentu saja. Orang
yang senang berhias diri berlebih-lebihan, sifatnya mendatangkan miskin, mengurangi rejeki.
Kecuali itu melemahkan hati yang ingin bertindak bijaksana. Rejeki itu akan lari bila melihat
orang genit bersolek.
Sementara bagi yang masih muda memang tidak boleh berdandan awut-awutan saja, itu seperti
dandanan orang jahat. Jika pada suatu waktu pergi ke perjamuan atau bepergian, baik berhias
dengan desthar yang bagus dan rapi seperti bersisir penyu pula.
Bila dikaji, ternyata bahwa cara berhias seperti tersebut di atas, adalah cara berhias orang
pandai yang serba tahu. Kepandaiannya banyak, dapat mempertemukan dan menyelesaikan
sesuatu, dapat membuat yang berbau tak sedap menjadi harum. Sedang yang sudah harum
menjadi semakin harum, karena yang gelap menjadi terang. Dia berhias itu tidak sungguhsungguh,
tidak sampai di hati, hanya untuk penutup saja, menutupi kepandaiannya. Sudah biasa
sifat orang cendekiawan itu demikian.
Sebenarnya dia itu pandai tetapi mengaku bodoh, karena hatinya sudah luas seperti lautan,
artinya banyak memaafkan. Bagi para ulama dan penasehat (dalam perkara agam) cara
berhiasnya menurut lafal (kata0kata dalam doa) yaitu Jayinapsaka bilamaksiyati. Artinya
mereka harus berhias dengan pakaian (yang dianggap) maksiat.
Yang dimaksud ialah berhias hanya sebagai perisai saja, tidak benar sampai di hati. Arti lafal
18. jayinapsaka bilmaksiyati jika dibicarakan tidak akan cukup cara dan tidak ada habisnya. Dari
itu anak cucu diseyogyakan supaya berhati-hati dalam segala tindakan. Bagaimana hasilnya
nanti harus dipikirkan lebih dahulu, tidak boleh hanya asal saja, lebih-lebih bersolek yang tak
berguna. Dituturkan bahwa orang harus suka berdandan tetapi jangan pesolek, harus pandai
tetapi tidak boleh sombong.
Suka berdandan artinya boleh berhias diri tetapi sedang-sedang sajalah, jangan sampai terlanjur
lupa diri. Hanya bersoleknya orang yang rajin akan kebersihan sajalah yang benar-benar
berdandan sampai di hati, dan kemudian dapat menimbulkan sifat yang baik, janganlah bersolek
seperti anda.
Adapun orang yang benar-benar suka bersolek, itu mengakibatkan lupa akan kelemahan dirinya.
Hatinya mudah tergiur, pintu keberuntungan terhalang yang terbuka hanyalah pintu kejahatan.
Segala yang baik menjauh, sedang yang jahat mendekat. Sifat itu menjauhkan rasa senag
(terima kasih) kepada pemberian Tuhan berupa apa saja.
Menjauhkan hati sabar, mendekatkan ketamakan, serta rasa marah bila tak terpenuhi
kehendaknya. Tidak akan selesai-selesai bila membicarakan keadaan orang yang suka bersolek
ini. Sekarang ganti soal mengenai kesenangan atau kegemaran orang hidup yang terdiri dari 5
macam.
Satu ; Orang tidak boleh senang akan kekayaan sebab orang itu dapat lupa akan tugas akhirat.
Sepanjang siang dan malam hanya memikirkan
19. kekayaan. Tindakannya kejam, nafsunya sebesar gunung, tak mempedulikan batal haram.
Sebenarnya, emas permata yang berkilauan serta uang yang berlebihan itu, hanyalah pembagian
untuk manusia yang disebut kekayaan.
Kekayaan itu sendiri dalam kenyataan, sebenarnya tergolong sesuatu yang tidak baik, sebab
menjauhkan diri dari hal-hal akhirat. Kekayaan ini ibarat neraka, sedang akhirat adalah sorga.
Renungkanlah hal itu.
Orang harus pandai memegang uang. Artinya dapat menggunakan uang sesuai dengan
penggunaannya, batal atau haram, kesemuanya perlu diketahui lebih dahulu. Pengeluaran uang
tidak boleh terus-menerus, walau itu sudah menjadi haknya, harus diusahakan yang rapi tidak
boleh kentara.
Dalam kitab Panitisastra disebutkan bahwa orang yang menumpuk banyak uang, dapat
disamakan dengan orang membendung air. Bendungan yang tak diberi jalan untuk alur air keluar,
sama halnya dengan uang yang tak dikeluarkan untuk dana ataupun zakat. Bendungan tadi
tersumbat, lalu jebol seperti terlanda banjir, larut tak kuat bertahan. Jelas hal seperti ini
mengandung bahaya besar, dan kenyataan sudah banyak terjadi biar kecil atau besar yang dapat
dipakai sebagai contoh.
Sebuah contoh kecil sebagai peringatan yaitu tentang kaum di desa Cabeyan, bernama Ki
Nurngali. Orang itu wadat (tidak kawin) sendirian tanpa istri dan kawan. Dia mempunyai banyak
nasi kering, semula
20. berasal dari nasi kenduri. Nasi tadi diminta tetangganya tetapi bersikeras tak diberikan.
Olehnya lebih baik dijemur, lalu disimpan. Demikian kikirnya tak layak seperti manusia pada
umunya. Dia hanya minta saja, kalau memberi tidak mau.
Ki Nurngali sedikit berada, di desanya dia dapat digolongkan orang yang kaya. Hanya kikirnya
luar biasa. Pada suatu pagi buta, ia hendak subuhan dan pergi ke sendang untuk mengambil air
wudu. Tiba-tiba seseorang memukul tengkuknya dengan pentung sehingga dia meninggal.
Simpanan uang yang dibawa sebanyak 25 anggris, yang ditaruh dalam ikat pinggangnya hilang.
Sedang yang tersimpan di rumah berupa uang dan kain sudah diambil pula oleh pencuri yang
memukulnya di sendang tadi, dan kini tinggal nasi keringnya saja.
Itulah contoh orang yang senang uang, tidak percaya akan Allah, kesana kemari uangnya dibawa
terus. Dia tak mau berbuat amal, hanya mengandalkan rajin sembahyang saja, yang memang itu
sudah menjadi kewajiban manusia untuk bersembahyang 5 waktu. Lain halnya dengan berbuat
amal dan kebaikan. Artinya berbuat amal saleh yang ditujukan kepada yang Maha Kuasa. Selain
khusuk berbakti, juga berbuat baik kepada sesame. Tetapi tidak mencari pujian, itu tak akan
menjadi sahabat.
KINANTHI
Mengenai amal saleh oleh penggubah tidak perlu diperpanjang, sebab sudah banyak tertera
dalam kitab.
21. Kecuali petuah para ulama, jika orang belum mengerti, lebih baik bertanya saja. Nasehat
tadi harus dicatat di dalam hati, supaya jangan lupa bahwa tindakan orang hidup itu dilarang
tertarik kepada kegemaran yang menimbulkan kea rah penyelewengan.
Orang harus patuh mengendalikan kehendaknya sendiri. Agar gemar memberi, jangan kikir, dan
itu baik dilaksanakan siang malam. Gemar memberi berarti, orang dapat memberi kepada
sesame umat, dengan baik dan ikhlas sampai di hati. Memberi dengan ikhlas berarti memberi
tanpa ada maksud akan mendapat balasan. Sedang yang dimaksud kikir ialah dilarang memberi
secara berlebih-lebihan tanpa ada gunanya, disebabkan hanya akan mencari pujian saja.
Padahal dia sendiri belum kuat menahan hawa nafsunya, menahan kehendak untuk berpakaian
bagus dan makan enak.
Orang tidak boleh sombong walaupun dia tidak akan kekurangan meski banyak berdana. Sebab
Tuhan tidak menitahkan dia untuk menolong orang lain, bila badan sendiri belum cukup. Tidak
boleh meniru Katintahyi, sebab dia itu telah menjadi orang terpilih, hamper setengah aulia
(wali). Sudah putus segala ilmu dan sudah diijinkan oleh Allah.
22. Kita harus merasa sebagai orang yang lemah, jadi harus menyayangi kemurahan Tuhan yang
diberikan kepada kita. Bila kita tidak menyayangi berarti kita ini sombong kurang berterima
kasih akan kenikmatan yang kita terima. Meskipun bertindak sesuatu yang baik, tetapi tak tahu
asal mulanya itu berarti ngawur dan tercampuri setan.
1) Segala tindakan harus disertai pertimbangan yang betul. Baiklah dimulai dari madya, (baik
atau sedang) lebih dahulu, bila hati telah mantap, maka diusahakan agar dapat mendekati
tindakan yang utama (terbaik). Jika tindakan itu dimulai dari yang utama lebih dahulu, maka
bila hati tidak mantap dan kalau mendapat rintangan, akibatnya orang akan jatuh sengasara.
Andaikata hati telah mantap betul-betul, di situ ia akan menemukan keutamaan hidup. Tetapi
hal tersebut jarang sekali, orang yang termasuk utama itu.
Kebanyakan orang jaman sekarang ini tergolong orang tercela. Sebab orang tercela tadi jika
bertindak yang hina tidak akan malu-malu. Dari itulah maka orang akan tetap menemui hina
walaupun bertindak baik, dan tindakan tercela itu akhirnya akan rusak. Tindakan yang baik
merupakan bunga keutamaan, sedang keutamaan merupakan bunga kemuliaan. Satu demi satu
harus diketahui bagaimana sebenarnya tindakan nista, madya dan utama tadi, sebab banyak
orang yang keliru menyebutkannya.
23. Nista disebut madya, madya dikira utama karena kebanyakan nafsu menyelebungi dunia ini.
Memang siapa gerangan yang kuat menerima dan menahan kehendak hati yang menggelora itu.
2) Kemudian orang dilarang gemar akan perempuan. Sebab bila gagal, berakibat rusaknya badan,
dan rusaknya sama dengan orang yang gemar akan uang. Masih lumayan orang yang gemar uang,
sebab bila dapat menggunakannya dengan betul, maka uang yang digunakan dengan suci itu
menjadi sarana untuk menarik ke sorga. Tetapi orang yang gemar perempuan tak urung bahaya
besar yang meghadangnya. Oleh penggubah dinasehatkan bagi orang yang gemar perempuan itu,
disikat saja. Tidak perlu salah paham, sebab semua telah dapat dibuktikan, dan bila diceritakan,
hal ini akan berkepanjangan. Untunglah bagi orang yang dapat melaksanakannya (menahan nafsu
perempuan).
3) Selanjutnya dinasehatkan agar orang tidak gemar akan suara dan rasa. Gemar suara itu
seperti seekor burung gelatik yang terkena pasangan oleh umpan temannya sendiri. Gelatik
temannya itu bersuara tik, tik, tik suaranya sangat menarik, sehingga burung yang seekor tadi
mendengar, dan tertarik akan suaranya. Tanpa curiga dia datang mendekat tahu-tahu burung
tadi masuk perangkap.
Sedangkan gemar rasa itu dapat disamakan seperti ikan dipancing orang dalam kedung (telaga).
Ikan di dalam telaga itu melihat makanan, tanpa hati-hati terus disambar saja, tidak disadari
bahwa dirinya kena perangkap. Ikan ditarik, kemudian jatuh di tanah dan matilah ikan itu.
Karena itu kita harus ingat dan waspada, segala tindakan tidak boleh tergesa-gesa “gita”
dilakukan, sebelum dipikir sungguh-sungguh dan tahu kepentingannya “gati”. Tidak perlu
terkejut dan terburu-buru akan sesuatu hal
24. jika belum tahu kebenarannya.
Tidak pantas bila seseorang seperti ikan yang kena pancing tadi, mati karena hanya menuruti
nafsunya saja, tak mengetahui adanya tipu muslihat.
4) Orang dilarang senang pada sesuatu yang indah yang dijadikan kesayangan. Sebab sudah
pernah terjadi, dan ini jangan sampai terlanjur seperti pengukir Sastradiwangsa. Dia senang
sekali burung perkutut dengan mengukir didengarkannya suara burung itu. Rasanya segar dan
gembira mendengar suara yang merdu tadi, mengukirnya hulu keris lebih giat dan lebih tekun.
Pada suatu hari burung perkutu itu tak mau berbunyi ; disuruhnya berbunyi, tetapi si burung
tetap bungkam saja. Pak Sastradiwangsa marah, pekerjaannya dihentikan. Dia mendekati
sangkar, sangkar dipegang dan burung itu diambil keluar. Dengan keras berkatalah ia :
“Hai burung mengapa kau tak memperdengarkan suaramu, aku ini kan memeliharamu”.
Burung lalu dibelaiannya, dia terlena, si burung lepas, terbang, namun tidak gesit. Yang
empunya mengejar dan tertangkaplah burung itu. Sastradiwangsa marah bukan main, burung
dibanting, tentu saja mati seketika. Dengan lantang dia menantang.
“Ayo kalau kamu berani, inilah Sastradiwangsa”.
Burung lalu diinjak, digilas lumat bercampur tanah. Orang hidup dilarang bertindak seperti itu.
Dimana pun juga takkan ada burung yang dapat berbicara, apa lagi ditantang dan diajak
bertengkar.
25. Orang itu benar-benar kurang pikir.
Dia merupakan seorang yang senang akan ujud (binatang) kesayangan tetapi ngawur saja.
5) Selanjutnya orang dilarang senang akan kuda, karena hal itu tidak baik. Memang di manapun
juga orang tak akan mau bila dilarang menggemari kuda. Karen demikianlah umumnya orang
mengabdi, jadi baik dipertimbangkan lebih dahulu, dan sebaiknya dapat memperkirakannya
sendiri. Andaikata ada orang menertawakan dirinya, karena tidak dapat naik kuda dia tidak
perlu malu. Harus diterima saja, untunglah masih ada yang mau mencelanya.
Menggemari kuda sebenarnya ada 2 hal yang menghalangi yaitu : merintangi orang mengabdi
dan merintangi orang sewaktu menghadapi maut. Lain halnya dengan Raden Suranagara dan
Raden Tohpati yang gemar kuda. Kuda bagi mereka bukan lagi kegemaran, tetapi memang sudah
pekerjaan mereka. Atas perintah raja mereka diserahi memelihara kuda, dan itu sebagai mata
pencaharian hidup mereka. Jadi aiblah bila mereka tidak mapu menguasai kuda, sebab akan
tergolong orang yang tak berguna.
Selagi masih hidup orang harus mencintai pekerjaan yang menjadi tiang hidupnya. Cinta dan
kehendak adalah sama bila orang itu sungguh-sungguh bekerja. Hal itu sama saja dengan
menyembah Allah secara sembahyang lima waktu, ya seperti apa yang telah menjadi
kewajibannya. Kitab Bustam menguraikan tentang hal tadi. Bila seseorang diperintah
melaksanakan sesuatu, maka ia harus senang dalam pengabdiannya itu.
Anak cucu dilarang mempunyai watak suka menyeleweng, itu berdosa dua kali. Pertama dosa
kepada majikannya, kedua kepada temannya. Mengibuli (membohongi) “gusti” tidak baik. Gusti
adalah wakil nabi, jadi sam halnya mengibuli Allah.
26. Menipu kawan-kawan, menambah dosa juga. Seyogyanya berbuat lebih baik serta rajin
berlaku manis.
DHANDHANGGULA
Kita dilarang kerap kali berada di hutan, pergi ke laut, ke sungai dan sebagainya, sebab banyak
mengandung bencana. Dahulu orang senang pergi ke hutan dan biasanya menemui celaka,
demikian pula ke sungai-sungai, itu tak baik juga. Tidak boleh senang akan kesaktian, ilmu
kebal, ilmu jagoan, ilmu kekuatan dan lain-lain, karena semuanya tadi tak akan memenuhi
syarat untuk mendekati Allah. Ilmu yang lahiriah isinya banyak takabur, salah-salah dapat
menjadi ilmu sihir, sebab semua ilmu tersebut bukan “mangunah”,(mempunyai kelebihan karena
imannya), bukan keluhuran dan bukan pula “mukjikat” (keajaiban). Oleh sebab itu orang yang
telah tinggi daya ciptanya tak mau mempelajari ilmu tadi. Kepercayaan terhadap Tuhan telah
tebal, hatinya teguh tak akan ragu-ragu lagi. Bila hanya menginginkan selamat, jangan sampai
ada bala menimpa, dengan persiapan, sebagai berikut :
Paritnya ialah penyerahan diri pada Allah. Betengnya, yaitu tetap percaya terhadap yang Maha
Kuasa. Sedang pintu kotanya ialah tetap mantap terhadap Hyang Suksma. Adapun rumahnya
berada dalam kota tadi, demikian itulah makna kesatuan manusia dengan Allah. Sebagai
perbekalan pangan di dalam kota itu ialah penyembahan manusia terhadap Tuhan, sedang
pelurunya yaitu tanawut napi nakirah (dengan teliti tanpa pengingkaran).
Apabila manusia telah berhal demikian, hati teguh mantap terhadap Tuhan tanpa tabir, maka
biar
27. kota itu dikepung (bahaya) manusia, semua yang mengepung tetap selamat. Sebab senjata
yang ditujukan kepada mereka adalah kasih Tuhan, sedang pelurunya yang berjatuhan bersifat
belas kasih. Demikianlah atas kemurahan Tuhan dan kasih Allah, maka semuanya selamat.
Selamat mencapai kemuliaan, tetap utuh manusia, tetap berada pada tempatnya untuk
menghadapi musuh abadi.
Keadaan di situ tetap kokoh, kuat tak tergoyahkan disertai peraturannya yang tersohor, yaitu
semua kehendak harus serba sabar. Dalam memerintahpun dengan cara serba tidak kentara,
sebab disitu adalah tempat orang suci dan sakti. Mereka dengan sabar dan penuh pengertian,
dan tidak pernah meninggalkan kebersihan hatinya, sehingga hidup itu tidak sengsara bagi
mereka. Semua tadi untuk mempertahankan diri dari pembicaraan iblis yang telah
memancarkan anak cucunya, demikianlah isi kitab Sangsul Ambiya. Setan-setan tadi menggoda,
membuat kacau, dan tak member kesempatan hidup pada manusia. Maka ketika manusia itu
lahir di dunia, sewaktu bayi dia dibedung, agar setan tak dapat membencanai bayi tersebut
sampai tua nanti.
Diharapkan agar si bayi kelak tidak mengikuti iblis, jangan sampai terjadi kuda itu tetap menjadi
“belo” saja. Dikatakan dalam kitab Insankamil bahwa kelakuan iblis tadi berjumlah Sembilan
puluh Sembilan macam, yang merupakan kekuatan setan untuk mencelakai manusia yaitu supaya
manusia tertarik kepada laku yang sesat.
Orang harus berhati-hati dan ingat bahwa tindakan apa saja, selalu diintip oleh setan yang
banyak
28. sekali jumlahnya. Itulah bencana setan yang menyebar memenuhi dunia. Meski nama Tuhan
itu tanpa cela namun tetap ditirunya untuk berbuat jahat. Sebenarnya harus bagaimanakah
orang hidup ini. Andaikata boleh lupa dalam hati, ya hanya seketika itu sajalah, karena hal
tersebut memang ulah setan yang dapat menembus rata menyeluruh terhadap manusia.
Itu dapat terlihat pada diri orang yang cepat marah, pada orang yang mempunyai angan-angan
penuh nafsu, serta tamak akan makan dan sahwat, juga kepada hiasan dunia. Sentuhan setan
yang ingin berhasil, bila dituruti akan menimbulkan sengsara dan akhirnya orang akan hidup
miskin. Sebab orang yang sangat menginginkan sesuatu, malu bila mengurungkan niatnya, jadi
orang itu akan tenggelam oleh sifat-sifat setan yang suka pada kegelapan, mata buta telinga
tuli, dan akhirnya orang akan masuk neraka.
VI. Keenam
Pada bagian keenam ini, penggubah memberi nasihat tentang orang bersahabat, berkawan dan
lain-lain. Orang bersahabat sebaiknya, (dalam hati) dipikir lebih dahulu. Ibarat orang yang
melihat makanan dan minuman, pasti tertarik sekali. Dalam hati harus berpikir, baik dan
berfaedahnya itu bagi badan kita. Sebab sebenarnyalah di dunia ini tak ada orang yang senang
sakit. Demikian pula orang bersahabat dalam memilih temannya.
Andaikata seseorang batuk, ingin sekali rasa yang serba manis, maka minumlah ia nira. Disini
ternyata semua keinginannya terpenuhi, semua nafsu makan yang membawa sengsara. Nah tidak
urung orang itu akan batuk terus-menerus, badan kurus kering, jelas orang itu merugi, tidak
akan mendapat hasil.
29. Harus diingat bahwa ditengah masyarakat dapat terjadi orang mendapat celaka yang berasal
dari teman atau sahabat karibnya. Hal-hal semacam itu harus dihindari. Kita dilarang
bersahabat dengan orang yang berkelakuan jahat, sebab kita dapat terseret seperti sahabat kita
itu. Seperti orang sakit perut tetapi ingin makan rujak kecut. Tentu saja akhirnya berak terus,
itu menyengsarakan badan serta tak berguna pula.
Dilarang juga berkawan dengan orang yang tak berakal, orang bodoh yang kurang ilmu, sebab tak
urung akan menarik menjadi bodoh pula. Dikarenakan orang bodoh itu tidak mengerti akan baik
dan buruk, pun pula tentang rahasia.
Tidak boleh berkawan dengan orang yang tak mengerti sastra. Orang demikian tentu sering
nekad, merasa benar sendiri, dalam pembicaraan justru tidak pandai. Malahan secara kasar,
tetap gegabah bertindak. Ini jelas merusak sopan santun, dan mustahil akan selamat.
Dilarang pula senang berkawan dengan orang yang tak beragama, sebab orang itu tentu tidak
takut akan siksa Tuhan. Berarti memporak-porandakan peraturan agama, dan bertekad
ugal-ugalan. Orang berhati dengki dilarang pula untuk dijadikan teman. Dia itu suka menyalahi
orang lain dan juga senang memfitnah. Jadi orang harus mengetahui tanda-tanda orang
semacam itu.
Sebenarnya pada orang mukmin (yang betul-betul percaya pada Tuhan) itu sendiri, ada yang
30. mukmin hanya sebagai hiasan saja. Untuk mengetahui/membedakannya agar orang dapat
menemukan hal yang baik dan buruk, pertama, harus dilihat lebih dahulu tingkah lakunya.
Kedua, supaya diteliti, ketiga, dilihat dari cara bertindak. Keempat, yaitu sopan santunnya,
kelima dari pembicaraannya.
Mengenai pembicaraan ini sebetulnya berdasarkan pancawada, yaitu pembicaraan mengenai
orang berdusta, orang pandai, orang berbudi, dan masih banyak lagi yang lain. Baru mengenai
hati tiap-tiap orang saja sudah berlainan, misalnya ada yang seperti raksasa, tamak dan rusuh.
Ada yang bersifat seperti gajah, dan lain-lain, banyaklah bila diceriterakan tentang orang
semacam itu.
Sebaiknya orang berkawan dengan mereka yang berwatak suka memberi dan bijaksana, pula
dengan orang yang tahu ilmu pelajaran atau yang telah putus dalam ilmu. Kepadanyalah orang
harus meminta lebih dahulu untuk berguru.
Walaupun seseorang telah mengeluarkan semua rahasia kepadanya, dia akan dapat menjaganya,
sebab dia dapat menilai mana yang baik, demikian pulalah bilaman ada pembicaraan yang
menyalahi orang tersebut. Memang orang hidup ini banyak yang dibicarakan, dan bahakan
menjadikan simpang siur.
Seumpama orang melihat sesuatu, biasanya barang yang salah dikatakan betul. Bagi orang yang
bijaksana, dia tahu bahwa barang itu salah, dan dia akan menjauhinya secara tak kentara. Orang
tadi bila berkawan, ingin membalas kebaikan kawannya, sebab orang itu tahu bahwa dirinya
diperlakukan dengan baik, maka ia akan membalas baik pula.
Bila seseorang berbuat baik, maka orang yang bijaksana akan memakluminya, sebab dia banyak
memaafkan. Kalau berkata disertai perkiraan, bahkan perkiraan itu tentu tidak meleset, orang
tadi penuh ketelitian, selalu mencari bagaimana duduknya suatu perkara.
Kata-katanya terucap halus, dengan mata redup
31. tak kelihatan beringas, bermaksud memaafkan kepada sesama. Kita disuruh berkawan
dengan orang baik budi yang suka beramal, dan perbuatan baik yang tak diperlihatkan itu
sesuatu tindakan yang menuju keutamaan.
Itulah dia orang yang tak tinggi hati dan tak sombong. Bila member pertolongan tak perlu
diketahui orang lain, sebab perbuatan itu dimaksud sebagai sedekah piker dan untuk kebaikan.
Bila kita berkawan dengan banyak orang, kita disuruh menganggap mereka itu saudara. Kita
supaya berhati-hati, tidak boleh membanggakan diri. Sebab biasanya orang memuji itu hanya
dalam kata-kata saja, tidak terus di hati.
Jika kita sudah memperoleh nasehat yang benar-betul, maka bilamana kita mendapat kesukaran
dalam hidup tidak perlu khawatir. Sebab, biasanya tak aka nada orang yang mau menolong kita,
malahan menambah susah, dan membuat onar saja. Orang semacam itu menandakan orang yang
mencari enaknya snediri saja. Berkawan denga orang yang setengah-setengah, akhirnya menjadi
musuh. Tetapi bila ada kawan yang demikian tadi, kita tidak boleh membalasnya, dan semua ini
seyogyanya diserahkan kepada Allah, agar semua kembali menjadi baik.
Kecuali itu kita tidak boleh berkecil hati, dan merubah kebiasaan seperti ketika berkawan
dahulu. Hati harus kuat dan tidak boleh mencela bahwa orang itu pernah menjelekkan kita.
Tetapi bila rahasia orang lain yang dicelanya, maka itu diserahkan saja kepada Tuhan.
Dinasehatkan agar orang dapat menutup rahasia dirinya, dan baik-baik dalam bersahabat dengan
kawan sesama abdi Tuhan.
32. Jika seseorang tak dapat menghindar dari hal itu dan, tak dapat bergaul dengan orang
banyak, disitu ia akan mendapatkan bahaya dari orang-orang tadi. Oleh sebab itulah orang harus
dapat menyimpan rahasia, serta bertindak bijaksana.
MEGATRUH
VII. Ketujuh
Adapun hal pertama yang dibicarakan penggubah ialah tentang orang makan. Seseorang yang
makan di rumah sendiri, sebaiknya mengikuti cara Nabi Muhammad, yaitu sehari semalam
makan sekali, makannya tiap tengah hari saja. Beliau makan dengan duduk jegang (salah satu
kainya ditekuk ke atas), kepala menunduk tanpa berbicara. Ketika akan memasukkan nasi ke
mulut disertai menyebut nama Allah, demikian seterusnya disertai doa, justru itu lebih baik, dan
barulah mulai makan. Sesudah makan lalu tengadah seraya minum tiga kali telan. Sekali telan
mengucap syukur kepada Allah, yang kedua kali telan, mengucapkan kesucian Tuhan.
Demikianlah cara orang makan meski ada tamu siapa saja. Sopan-santun harus dipakai supaya
pantas, dengan duduk bersila yang baik, kepala menunduk, tidak berbicara dan tangan tidak
boleh diluruskan.
Kemudian tamu tadi dipersilahkan makan, setelah itu pemilik rumah tidak boleh berbicara
kecuali bila tamu tersebut mengajak berbicara. Pemilik rumah
33. harus menanggapi agar tamu tadi senang. Kemudian dia harus berpura-pura makan banyak,
dengan muka yang cerah, tidak boleh menyelesaikan makan lebih dahulu. Biarpun perut sudah
kenyang, ya makannya sedikit-sedikit saja, karena memang sudah caranya, tamu itu harus
dinanti selesai makan.
Demikian pula jika seseorang bersama-sama makan dengan banyak orang, dan apabila ia sedang
bertamu. Dalam hati ia tidak boleh bersambalewa dan mencela akan adanya nasi dan ikan yang
tak baik. Pemberian Tuhan itu harus dihormati, bila dia mencela nasi yang tidak putih dan ikan
yang tidak baik, dia akan kena murka Allah.
Perlu diingat, dahulu sewaktu Nabi Musa pergi berperang, semua prajuritnya lapar di sebuah
padang. Nabi Musa menjadi bingung, kemudian berdoa mohon belas kasih Tuhan. Dari angkasa
turun, diberi apa yang dimintanya. Tetapi sebelumnya para umat diberi janji, bila pemberian itu
sudah diterima tidak boleh mencelanya. Para umat menyanggupinya, lalu orang-orang itu makan
dengan rasa nikmat sekali. Tiba-tiba ada seseorang yang berkata bahwa ada satu
kekurangannya, ya memang ikan-ikan itu lengkap, hanya “lalaban” (daun-daun mentah) sajalah
yang tak tersedia. Belum habis mereka makan, nasi beserta lauk-pauk itu kembali ke angkasa
dan tak terlihat lagi. Itulah hasil orang bodoh yang bersambalewa serta tak menginsafinya.
34. Pangan itu patah hati, orang-orang tak dapat menyusulnya. Oleh sebab itu harus ingat, bila
sedang makan di rumah dilayani oleh istrinya supaya makannya perlahan-lahan, tidak
tergesa-gesa. Bila masakan itu kurang berkenan di hati, misalnya kurang gurih, kurang asin,
sebaiknya dimakan saja. Nanti apabila sudah selesai makan, dapat berkata perlahan-lahan,
sayur tadi kurang apa, dan ikannya, ya apa kekurangan tadi baik dikatakan. Kemudian
dilanjutkan bahwa dia itu senang ikan apa, cukup sekali saja dikatakan untuk seterusnya. Bila
sekali waktu tak berkenan lagi, sebaiknya diam saja, sebab orang makan disertai hati marah itu
tidak baik. Pertama dia dianggap hilang oleh Tuhan, kedua, arti sebagai manusia berkurang,
ketiga mengurangi rejeki.
Dilarang menganggap enteng orang makan, anggapan demikian itu tidak baik. Kalau tentang
makan tadi tidak diperhatikan, dan orang makan tidak memakai aturan, itupun tidak betul pula.
Orang makan memang menjadi tiang pengikat hidup tetapi ya dengan ukuran, tidak asal
menuruti nafsu makan saja. Bila hanya menuruti nafsu makan, tak urung dia akan lekas
meninggal, ia dapat disebut meninggal karena nafsu makannya. Ya karena dia makan apa saja,
disini justru terlihat ketamakannya.
35. Boleh makan hanya untuk megobati kelemahan badan saja, sebab jika badan terlalu lemah,
usahanya akan berkurang. Senbahyang kurang bergairah. Jadi amalannya hanya sedikit juga.
Sebuah usaha kecil dari kehendak hati, untuk bertapa selamanya, namun ternyata besar
faedahnya. Usaha tadi mempermudah segala tujuan, dan membuat hati terang benderang.
Tidak baik makan pagi-pagi, menjadikan hati pepat, pendapat tidak tegas, jalan pikiran tidak
baik, lemah tidak berdaya. Jika orang ingin kuat ya harus tegas, sebab apabila kendor tentu
membelok, tak dapat dipakai sebagai dasar. Pada umumnya orang yang banyak makan biasanya
terus ingin tidur. Sebenarnya semua pekerjaan bila dilatih tentu akan terlatih, demikian pula
halnya orang yang suka makan, menyebabkan ketajaman hati berkurang maka Pak Tumpullah
yang mendekat. Di sini ternyata pekerjaan jasmaniah sesuai dipakai untuk memondong,
memikul, menggaru, membajak semua yang serba memakai kekuatan.
Sedangkan anak “priyayi”, kiranya harus banyak mempergunakan hati, dan pikirannya. Bila yang
dipergunakan pikiran, tetapi menggunakan orang untuk memikul, tentu tak berhasil, karena
orang itu terlalu banyak makan, jelas memang bukan tugasnya. Penggunaan hati dan pikiran
memang tugas orang muda.
SINOM
36. Masih dalam bagian ketujuh, di sini diuraikan mengenai orang tidur. Perlu diketahui bahwa
sehari-semalam selama 24 jam itu, mempergunakan waktu tidur hanya sepertiganya saja, yaitu 8
jam. Bila orang dapat melaksanakan cara tadi, akan memperoleh pahala yang besar. Orang itu
termasuk istimewa, karena tidak terlalu banyak tidur. Menurut kitab Insankamil, Tuhan turun ke
langit-dunia, setiap malam menjelang akhir sepertiga malam tadi. Kita tak boleh membantah,
mengapa Tuhan hanya berada di satu tempat saja. Yang dimaksud langit, sebenarnya ialah badan
kita sendiri, sedang dunia adalah dat Allah yang meliputi jagad.
Pada malam hari kira-kira pukul setengah dua atau pukul tiga di ujung malam, sebaiknya kita
bangun berdoa, mohon ampun kepada Tuhan atas segala dosa kita di dunia ini. Untuk bersholat
khajad, pada malam Jum’at juga di waktu malam hari seperti tersebut di atas. Semua kehendak
kita, bila betul-betul kita memohon, tentu akan dikabulkanNya. Bahkan jika badan kita ini suci
benar-benar, maka penyesalan kita akan diterima Tuhan yang Maha Pengasih itu.
37. Di waktu subuh sesudah bangun, baik segera membersihkan diri, agar tidak terus tidur lagi.
Matahri sudah tinggi, tetapi masih enak tidur, orang malas namanya itu. Mengakibatkan segala
kehendak menjadi terlambat, menjauhkan rahmat, dan menyempitkan pikiran.
Di waktu tidur siang hari, sebaiknya waktu ashar segera bangun. Sebab orang tidur sampai jam
4,5 atau 6 sore, bila bangun hati menjadi gusar, marah-marah seperti orang gila, seperti orang
kehilangan nalar saja. Hati demikian itu menjauhkan pikiran baik, yang dekat hanyalah pikiran
jelek. Segala pekerjaan menjadi kabur, rahmat Tuhan menjadi berkurang pula. Jika semua
petuah tadi dilaksanakan maka dia akan termasuk orang yang berhati-hati. Kecuali bila
seseorang merasa lelah sekali, dan mengantuk, ya melanggar sedikit taka pa untuk menjaga
kelemahan badan.
Selanjutnya apabila seseorang tidur di malam hari, baik membujur ke arah utara, badan miring
menghadap kiblat, seperti letak orang yang meninggal di dalam kalwat (liang kubur). Sebab
orang tidur itu, sebenarnya hampir seperti orang meninggal. Mungkinh juga sewaktu-waktu
Tuhan menghendaki ajal seseorang, maka sebaiknyalah menyerahkan diri kepada Allah.
Di sini orang tak boleh salah paham, sebab jarang orang yang tahan tidur miring ke kiblat terusmenerus,
tanpa berpindah tempat. Sesungguhnya
38. tidaklah demikian, hanya sewaktu orang mulai tidur, itulah menghadap ke kiblat. Sesudah
lama tidur, tentu tak merasa bagaimana letak dirinya, karena sekali lagi orang tidur itu seperti
orang meninggal saja. Orang yang tidur membujur ke utara, mempunyai sifat melangsungkan
adanya rejeki. Bila membujur ke timur, memutuskan rahmat Tuhan dan menghilangkan rasa
kasih dari kawan-kawannya. Kalau tidur ke selatan menyebabkan hati pepat, jika membujur ke
arah barat akan mempunyai umur panjang.
Orang dilarang menikmati tidur, dia harus dapat menahan kantuk yang mendorong rasa ingin
tidur saja. Orang yang tahan berjaga, mempunyai pandangan luhur, sedang orang yang tahan
lapar, mempunyai hati teguh. Orang yang tahan tidak minum, dia kebal akan bisa binatang.
Semua hal tadi jika dilakukan sungguh-sungguh akan mendapat pahala. Memang demikianlah
sifat orang bertapa yang kelak akan memperoleh apa yang akan dikehendakinya.
Orang pandai, orang luar biasa (sakti) dan menjadi priyayi, banyak diperolehnya dari berlaku
tapa ini. Segala yang baik, hasil dari bertapa akan membawa keberuntungan, dan itu memang
sudah tepat. Meski menjadi orang pandai, kaya, dan menjadi priyayi, tetapi bukan karena
bertapa, itu adalah pemberian setan. Orang yang sakti oleh setan, sifat kesaktiannya hanya
sebentar saja. Dipanah dengan daya cipta orang yang bijaksana, kesaktian tadi akan lumpuh
tidak berdaya.
39. Sedang orang yang hidupnya senang karena setan, memang seketika menakjubkan, dia dapat
menikmati kemewahan tiu, tetapi tak lama kemudian rusaklah, dan dia menjadi miskin sekali.
Bagi orang yang bijaksana tak mau dia berbuat demikian, karena seolah-olah dirinya hanya
menjadi bahan tertawaan ayam saja, lebih baik menerjunkan diri ke laut.
Orang tidak boleh berhal seperti Setrapramukya yang dahulu pernah menjadi Tumenggung
Ngeksiganda. Hanya dua tahun saja dia menjadi Tumenggung, lalu diberhentikan oleh raja.
Kemudian pekerjaannya hanya berkeliling ke rumah para priyayi, nernincang-bincang mencari
kabar dan menjual kabar.
Tidak disadarinya bahwa tindakan itu serupa tindakan setan, dan orang yang baik budi tak mau
bertindak demikian. Jika raja sudah tak berkenan pada orang itu dan sudah tak diberi pangan,
maka sebaiknya dia di rumah melakukan ibadah saja. Sembahyang khusuk terhadap Tuhan dan
mengucap syukur atas segala pemberian Allah kepadanya. Tak ada yang dimakan, yah biarlah.
Takdir Allah demikian itu diterima terus saja, asal hidupnya tidak menjadi hina, dan tidak
menjelekkan nama negaranya.
Adapun kepandaian yang berasal dari setan itu, sifatnya ingin menang sendiri, juga senang
bertengkar. Dalam berbatah ingin memperlihatkan kemampuannya, sombong, minta dituruti,
yang jelas
40. dia mencari pujian. Seumpama orang hanya mempunyai uang sedikit tetapi menawar bahan
yang harganya mahal. Setelah penawaran itu jadi, diberikan, namun uangnya tak ada, dia minta
tangguh. Akhirnya tak dapat membayar, kalu ditagih tak pernah member, lama-kelamaan
terbukti kejelekannya. Demikianlah perumpamaan bagi orang yang berkepandaian karena setan.
Dia berpendapat bahwa hal itu baik, mendapat berkat Tuhan, tak tahunya didapat dari berkat
setan.
Orang tadi tentu malas berguru, malas bertanya kepada orang pandai-pandai. Dia merasa malu
untuk bertanya, akhirnya percaya pada setan. Masih dalam bab ketujuh, disini dibicarakan
tentang orang berjalan. Jika orang pergi dari rumah, harus tahu kemana tempat yang ditujunya.
Ke tempat itulah dia harus memusatkan perhatian, dan bila mulai berjalan baik disertai ucapan
Bismillah. Kalau berjalan supaya kepala agak ditundukkan, mata dijaga jangan melihat kesanakemari.
Bila ingin melihat sesuatu, lebih baik berhenti dahulu, orang yang berjalan dengan
menoleh kesana kemari, hatinya akan bercabang-cabang.
Di samping itu orang berjalan tak boleh berangan-angan jelek, baik berserah diri saja kepada
Tuhan. Sebab adakalanya orang itu tersandung (mendapat halangan), menjadi gagallah
kehendaknya. Bila berada di rumah, orang dilarang berdiri di tengah pintu seraya
menggelantungkan tangannya.
41. Hal ini dapat membawa dia dan tetangganya kerap kali kehilangan. Berdiri dengan bertolak
pinggang di tengah pintu juga tidak boleh, sebab dapat menjauhkan keberuntungan. Di rumah,
orang duduk dilarang menumpangkan kakinya sebelah, karena dapat menyebabkan kerap kali
sedih. Demikian pula dilarang menggerakkan kakinya sebelah terus-menerus, sikap ini
menghilangkan kesopanan dan mengurangi kekhusukan terhadap Tuhan. Keselamatannya
berkurang berarti menyia-nyiakan diri sendiri. Semua pantangan yang tiada pantas harus selalu
diingat, dan harus membiasakan diri percaya kepada hal itu, sebab manusia memang kerap kali
lupa.
POCUNG
VIII. Kedelapan
Bila ada tamu datang , wajib dihormati. Tamu yang terdiri dari anak cucu, teman atau tetangga,
itu dapat disebut setengah tamu. Untuk menghormatinya tidak sukar, karena telah biasa. Bila
ada sesuatu yang disuguhkan, lebih baik tamu tadi disuguhi. Tetapi jika tidak, cukup dengan
penyambutan yang pantas, dan kata-kata yang hormat. Tidak baik menyusahkan hati seorang
tetamu, tetapi juga tidak baik bila terlalu memanjakannya, sebaiknya yang seimbang dengan
42. kemampuan diri sendiri. Tidak seyogyanya menyambut tam uterus-menerus, sebab bila
dirinya sedang menjalankan tugas, tentu akan merepotkan. Memang banyak tamu atau
kawan-kawan yang datang berkunjung dengan tujuan tertentu. Tetapi tidak memperhatikan
bahwa orang yang dikunjungi tadi sudah letih. Jadi orang yang empunya rumah harus
mengetahui lebih dahulu, tamu itu seyogyanya ditemui atau tidak.
Tetapi apabila tamu itu dari luar lingkungan, wajib disambut secara hormat. Sepantasnya tamu
tadi disuguhi, biarpun tidak mempunyai sesuatu di rumah, harus diusahakan dengan cara
bagaimana. Sebab itu sudah umum berlaku bagi orang Jawa, lebih-lebih bagi priyayi. Tetapi bagi
orang muda yang mempunyai sifat senang lalai, memang kurang memperhatikan, lebih-lebih
dalam hal bahasa.
Bahasa itu ada kalanya dipergunakan dengan baik bahasa karma dan sebaliknya yaitu ngoko.
Kalau memang sudah seharusnya dipergunakan dengan baik, maka seharusnyalah dipergunakan
pada waktunya pula. Untuk dapat terpenuhi, maka oleh orang yang ahli, ajaran bahasa tadi
dibagi-bagi, sebab bila tidak diperinci, ibarat semua pekerjaan akan terbengkalai, seperti
menantikan orang kelaparan yang tak terurus saja.
Mereka mengartikan bahwa bahasa yang baik itu untuk apa, itu hanya suatu “sunah”, kalau perlu
saja mereka mempergunakan, agar sikapnya terlihat
43. bersopan-santun. Apabila ada seorang tamu besar, yang derajatnya melebihi yang empunya
rumah, perlu disambut dengan hormat dan baik. Sesudah duduk, pemilik rumah harus duduk
dengan “ngapurancang” (kedua telapak tangan diketemukan). Kata-kata diucapkan dengan
perlahan, tidak boleh bersambalewa, dan pada waktu tamu itu pulang, harus diantar seperti
menyambut pada waktu ia datang. Jika ada tamu seorang ulama, dan orang yang lebih tua, tua
dalam arti lebih bijaksana, harus dihormati dengan baik seperti telah pernah disebutkan.
Bilamana orang tua tadi hanya tua umurnya saja, pemilik rumah supaya dapat mengira-ira
bagaimana harus menyambutnya, tentunya tak sama dengan tamu para cendekiawan.
Harus diketahui bahwa yang disebut tua itu ada dua macam, tua “majaji” dan tua “makiki”. Tua
“majaji” ialah tua dalam umur tapi kenyataannya masih muda dalam ilmu. Sedang tua “makiki”
yaitu tua dalam ilmu berarti dia itu pandai. Walaupun umurnya masih muda, seperti halnya
ulama (muda) yang berpikiran luhur.
Apabila tamu itu seorang fakir miskin yang meminta-minta, maka sebaiknyalah jangan diberi.
Jika pemilik rumah itu sedang tak mempunyai uang dengan kata-kata manis, maka sebaiknya
diminta kerelaannya
untuk pergi, dan disanggupi akan diberi di kali lain. Jadi pemilik rumah itu tidak memutus
rahmat Tuhan, jangan sampai dia merasa bahwa hak milik itu hanya kepunyaannya sendiri. Bila
orang berpendapat demikian maka dia itu akan berani dan takabur, akhirnya mendapat murka
Tuhan, baik lahiriah maupun batiniah.
44. Bila seorang kedatangan tamu utusan dari saudara, kawan, priyayi ataupun orang besar,
harus diketahui bagaimana cara menyambutnya. Sebab harus diingat bahwa menghormati utsan
itu sama dengan menghormati yang mengutus. Oleh sebab itu, cara mneyambutnya harus sama
seperti kepada yang mengutus. Dalam bertutur kata harus berhati-hati, seperti berkata kepada
yang mengutus pula. Selama berbicara tidak perlu keras-keras, supaya utsan itu senang.
Kepadanya tidak boleh marah, walaupun sikapnya kepada pemilik rumah kurang pantas, sebab
utusan tadi tidak tahu apa-apa. Andaikata pemilik rumah marah kepada utusan, salah-salah
orang tadi menyampaikannya kepada orang yang mengutus. Entah bagaimana yang disampaikan,
hal itu akan memecahkan persahabatan. Lagi pula dilarang berpesan kepada utusan, janganjangan
dia salah dengar. Dalam berbicara harus melihat kanan-kiri, tidak boleh meremehkan
kata-kata dan harus dapat bijaksana. Kepada utusan itu tidak boleh berkata mengenai seseatu
rahasia. Sebab jika utusan tadi kurang pikir dan senang berbohong, bisa jadi pesan itu ditambah,
yang dapat mengakibatkan adanya salah paham.
DHANDANGGULA
IX. Kesembilan
45. Dalam buku ini penggubah menasehatkan mengenai cara orang bertutur kata. Orang bertutur
kata sebaiknya tidak asal mengeluarkan kata-kata, semua harus dipikir lebih dahulu. Pertama,
supaya menghindari ucapan yang takabur, sombong dan congkak. Sebab orang takabur itu orang
yang merasa dirinya lebih daripada orang lain, seolah-olah mampu menyelesaikan segala
pekerjaan. Banyak bicara dan sering menyakitkan hati, dia ingin memperlihatkan
kewibawaannya. Semua tingkah lakunya serba diperlihatkan, tak ada yang ditutupi agar semua
orang melihat dan memujinya.
Orang sombong adalah orang yang segala tindakannya dan kata-katanya minta perhatian.
Sebenarnya hal ini mengkhawatirkan, sebab kalau suatu ketika orang itu jatuh martabatnya,
maka kejelekannya akan tersohor kemana-mana. Bagi mereka yang suka takabur, sombong, dan
congkak, bila kena murka Allah tak akan ada obatnya. Jika mereka berlarut-larut bersikap
demikian, dan tidak segera bertobat, maka mustahillah mereka mendapat ampun. Orang hidup
dilarang bertindak demikian, justru mengharapkan segala hal yang baik, supaya selamat,
terhidar dari tindakan yang jahat.
Kedua, orang dilarang berbicara bengis dan kasar. Merbicar bengis berarti mengobral marah dan
itu berarti pula kemasukan setan.
Ketiga, orang akan mendapat kesukaran karena suka membicarakan kejelekan orang lain, sedang
kejelekan diri sendiri tak disadarinya. Membicarakan kejelekan orang lain berarti menggendong
dosa orang itu. Padahal menggendong dosanya sendiri saja belum tentu kuat, masih
menggendong dosa orang lain, ini tak ada gunanya sama sekali.
(47)
Keempat, orang tidak boleh berkata bohong, sebab jangan-jangan ini menjadi kebiasaan. Orang
yang suka bohong tak dapat dipercaya, dan sifat itu dapat menjadikan hati gelap. Ibarat rumah
yang lampunya padam, semua barang yang ada didalam, tak dapat terlihat. Sewaktu akan
mengambil barang, barang itu telah hilang, dan habislah harta bendanya. Maka turunlah tingkat
derajat orang itu, ya memang masih mempunyai harta sedikit, tetapi itu hanya setingkat orang
kecil saja, bukan untuk orang tinggi.
Kelima, orang diharap menjaga ucapan-ucapannya, jangan sampai mencela orang lain walaupun
hanya dalam kata-kata. Sebab orang yang suka mencela itu, bila diri sendiri belum mampu, oleh
Tuhan akn dihadapkan kepada kenyataan yang sebenarnya. Keenam, mulut dijaga agar tidak
mengeluarkan kata-kat yang tak berguna, misalnya berseloroh, mengumpat, membual dan
lain-lain, sebab hal ini dapat menjauhkan diri dari Tuhan. Bagi orang yang senang bekerja,
berbicara dihitung untung ruginya, agar waktu itu untuk berbicara itu berfaedah baginya.
(48)
Ketujuh, ucapan harus dijaga jangan sampai suka bersambalewa, sebab bersambalewa dapat
menghilangkan kesopanan dan keprihatinan. Orang yang kehilangan sopan-santun akan
berkurang kehormatannya, sedang orang yang hilang keprihatinannya segala kehendaknya tak
akan tercapai. Ki Beja (lambang keberuntungan) meninggalkannnya yang mendekat Ki Cilaka
(lambang kesengsaraan). Oleh sebab itu orang harus berhati-hati dan jangan sampai lengah,
sebab Ki Cilaka ini siang malam terus menunggu, menanti waktu bila seesorang sedang lalai.
Padahal manusia itu lalainya bukan main, lengah dan tak teliti. Jadi apabila orang sudah lengah,
Ki Cilaka akan datang menyerbu, dan biasanya manusia tak kuat bertahan terhadapnya.
Bila orang mengadakan musyawarah dengan sanak saudaranya, orang yang lebih mudah jangan
sampai mendahului mengeluarkan pendapat, lebih baik segalanya diserahkan yang tua saja. Jika
yang tua itu telah kehabisan akal, dan menyerahkan kepada yang muda, itulah baru diucapkan.
Dalam memutuskan sesuatu hal, tidak boleh diputus (menurut pikiran) sendiri, harus
dirundingkan dengan saudara tua. Sesudah terang mana yang dipilih oleh yang tua, yang muda
harus menyetujui, kalau memang itu sudah betul. Dalam berfikir orang harus ingat kepada
Tuhan, jangan sampai dengan hati panas dan marah. Sebab kemarahan itu pernagkap setan,
yang menghalangi maksud menuju kebaikan.
Kebaikan itu adalah anugerah tuhan, sedang amarah dan setan itu pekerjaannya mengurungkan
kebaikan. Bekerjanya sangat halus tidak kentara selalu menyusup kedalam amarah orang.
Seperti halnya bagi sesuatu yang sudah baik, sudah betul tidak meninggalkan dalil dan kadis,
ijema maupun kias. Dan telah sesuai dengan peraturan negara namun gagal juga, karena
perbuatan setan tadi. Hati manusia terhanyut melampiaskan napsu yang tidak benar.
Oleh sebab itu, segala tindakan yang dirasa telah mantap, maka segeralah dilaksanakan, bila
sudah terlaksana, maka jangan tergesa-gesa, dalam hal ini harus sabar. Jadi hati dapat ”pasrah”
kepada Allah, agar usaha itu berhasil. Hal ini dapat dipersamakan dengan anugerah tuhan yang
sejati, bila anugerah itu telah diperoleh, sikap dan pikiran dapat merasakannya, dan disinilah
manusia hanya dapat bertobat kepada Allah.
(50)
Kecuali itu, juga supaya mengucap syukur kepadaNya, karena telah diijinkan menikmati hasil
jerih-payahnya itu. Selanjutnya apabila seseorang bertutur kata dengan orang yang lebih tua dan
lebih tinggi kedudukannya harus selalu waspada. Supaya diperhatikan apakah buah pikiran orang
tadi hasil dari pengaruh amarah, iblis, khawa ataukah dari nabi adam ataupun dari malaikat, itu
harus diperhatikan sungguh-sungguh. Bila buah pikiran tersebut hasi dari amarah, iblis, dan
khawa, akibatnya tentu akan jelek, dan itu tidak boleh diikuti. Lain halnya bila saudara tua itu
memang penuh pengertian, maka dia pantas dibela.
Kalau orang lain tentu tak mau mengakui kekurangannya, dan hanya mau mencari selamat diri
sendiri saja. Berbeda dengan orang yang telah berbudi sempurna walaupun pikiran itu berasal
dari khawa, amarah dan setan, tetapi hasilnya tetap baik. Pada zaman sekarang jarang orang
yang dapat berhal sedenikian tadi.
(51)
Sedangkan pikiran yang berasal dari adam dan malaikat memang keduanya baik, jadi pikiran itu
dapat diikuti. Kemudian apabila seseorang berkumpul dengan banyak orang tidak baik jika
mendahului dalam pembicaraan. Lebih baik menanti pendapat mereka yang dikeluarkan satu
persatu. Tidak perlu menegur dan mencela kepandaian orang lain. Dipertemuan itu akan keluar
pikiran baik buruk, betul dan salah, semua pasti terlihat. Ini ibarat ikan yang tersedia dalam
lauk-pauk yang bermacam-macam. Diditu harus dilihat, lalu dipilih, ikan atau sambal dan
”lalab” manakah yang enak dimakan. Biarpun di situ terdapat ikan yang menggiurkan, tetapi
dapat menyebabkan miskin maka tidak perlu dipilih.
Baik dipilih saja yang tidak menimbulkan penyakit, mengenai ikan-ikan, sambal maupun lalab
atau gundhangan seperti tersebut di atas. Sesama gundhangan namun bila gundhangan rebung
(bakalan bambu) itu enak, tetapi tidak berfaedah. Lain halnya dengan gundhangan kunci yang
sudah enak lagi berfaedah, diperut terasa hangat. Misalnya lagi, nasi liwet dan nasi kebuli,
masih bermanfaat nasi kebuli, karena rangkaian lauknya berfaedah.
(52)
Dalam pertemuan supaya mengeluarkan segala isi hatinya. Bukannya setelah bubar, baru
dibelakang mengeluarkan pendapatnya supaya disetujui. Hal itu tidak pantas, berdosa dan tidak
akan selamat. Lain halnya jika seseorang dimintai pendapat majikannya, segala isi pikirannya
supaya diutarakan. Bila disetujui oleh majikannya, dia harus dapat mempertanggungjawabkan,
walaupun pada akhirnya mungkin gagal, namun dia bersedia membelanya dengan hati yang
mantap. Lain dengan cara mengabdi majikan yang pada dasarnya hanyaq pulasan saja. Disini
dikatakan menyayang majikannya, tetapi sebenarnya hanya mencari pujian dan menyetujui
sikap yang congkak. Adapun sikap oarang mengabdi majikan yang benar-benar, ialah serba
terbuka, apa kekhawatiran hatinya diutarakan, dan nanti diserahkan kepada majikan itu sendiri.
Jika ada orang hanya memikirkan diri sendiri maka berarti kata hatinya tak dikatakan kepada
orang lain kecuali kepada Tuhan dan Kanjeng Nabi. Yang jelas harus diingat bagi kita, ialah
mengenai kelima ciri-ciri yang dapat menutupi penglihatan hati seperti telah terurai. Kalau
memang telah menjadi ketetapan hati untuk mencapai kehendak itu, baik segera dilaksanakan
dengan sareh dan disesuaikan dengan petunjuk Tuhan. Seyogyanya pula tidak perlu ragu-ragu
akan petunjukNya, dan menyerah saja kepada kekuasaan Allah.
SINOM
X. Kesepuluh
Untuk bagian kesepuluh ini, pengarang memberi nasihat kepada nak cucu bagaimana jika
seseorang diciptakan Tuhan menjadi orang kecil (derajatnya) ataupun orang besar. Bila manusia
diciptakan Allah menjadi orang kecil tidak boleh menyesal, biarpun menjadi bekel desa
misalnya, itu sudah mempunyai kegunaan dan peraturan sendiri.
Umpama lagi, orang yang menjadi petani, segala apa yang tergolong alat kerjanya, bajak, garu,
arit, cangkul, pecok, wangkil (alat untuk membersihkan tanaman), kerbau, sapi dan lain-lain,
harus dipentingkan, harus dilengkapi. Jadi orang itu dengan sendirinya akan rajin ke sawah, rajin
menanami sawahnya. Siang malam yang dipikirkan hanya tanamannya saja, pala gumantung,
kesimpar, kependhem (buah-buahan yang bergantungan, yang terletak di atas tanah, dan yang
terpendam).
Jika hasil tanaman itu baik, seyogyanya sebagian hasil tanaman itu dihaturkan kepada
majikannya. Sebagai tanda bakti, atau serupa pajak demikianlah, dan ini baik dilaksanakan pada
waktu yang telah ditentukan. Tidak baik segala pekerjaan serba lamban, apa yang telah menjadi
kesanggupan untuk menghaturkan pajak kepada raja supaya dipenuhi. Karena telah dijamin
hidupnya, maka jika diminta tanda bukti, tidak perlu banyak dalil, baik segera dihaturkan. Bila
memang tidak kuat, lebih baik sawah itu dikembalikannya saja.
(54)
Jika sawah itu benar diminta tidak perlu sakit hati. Sebab bila tanah tadi dipertahankan,
menandakan bahwa orang itu tidak baik, dia akan menjadi ”tampikan” para priyayi, berarti pula
tidak kasihan pada diri sendiri. Kemudian arti peraturan dalam kalangan tani, misalnya orang
menjadi bekel desa, dia harus tertib. Masjid yang dibangunnya didekatnya harus selalu
dilengkapi air. Para santri diberi bagian sawah sepantasnya, dan zakat fitrah baik diserahkan
pula kepada mereka.
Selanjutnya mencari orang yang bertugas sebagai kebayan (bagian keamanan). Harus dipilih yang
kuat dan tidak minum candu. Sebab bial ada tamu priyayi, dia dapat cepat menyambut dan
menjamunya. Oleh karena itulah harus dicari kebayan yang baik, yang dapat memelihara
barang-barang. Membuat pagar pekarangan dari bambu, tetapi tidak boleh merusak pekarangan.
Pagar rumah harus pantas dan kokoh, supaya bila ada tamu singgah, merasa aman. Mengenai
arti berpengalaman ialah tahu akan kebiasaan yang berlaku bagi daerah ”manca-pat” ”mancalima”,
dimana batas-batasnya dan dimana arah gunung-gunungnya.
Kebiasaan mengenai wilayah itu baik teru dilakukan, dan seperti pada umumnya, orang dilarang
membuat kebiasaan sendiri yang menyimpang dari kebiasaan masyarakat setempat. Lagi pula
dia (kebayan) itu tidak boleh bergaul dengan pencuri, biarpun orang tadi hanya membawai
rakyat kecil, tetapi supaya mengusahakan tidak ada laku jahat di tempat itu. Bila mengetahui
orang yang suka mencuri, baik segera diinsyafkan. Bila dia tidak mau insyaf, maka baik
dikeluarkan dari wilayah tadi supaya tidak membawa nama jelek. Selain itu apabila seseorang
dapat mendirikan masjid, maka orang-orang disitu diminta supaya bersembahyang di masjid.
Bila banyak orang yang melakukan sholat lima waktu, berarti pula mengurangi tindakan-tindakan
jahat yang ada misalnya main kartu, dan menyeret (minum candu) dua hal itu harus dilarang
betu-betul. Sebab dari kedua hal itulah menyebabkan rakyat kecil miskin, serta adanya
pencurian-pencurian. Memang sukar untuk mengetahui berapa besar nafkah orang itu satu
persatu, supaya hasil nafkahnya tadi tidak menimbulkan kejahatan.
(56)
Apabila seseorang mengabdi raja, dia harus rajin menghadap, biarpun belum mendapat sawah
(sebagai gajinya), dan tidak boleh terburu-buru ingin memilikinya. Sebab harus disadari bahwa
dirinya belum berjasa. Karenanya dia harus rajin betul-betul untuk menghadap raja di balairung.
Dengan teman abdi yang lain supaya merendahkan diri, dan minta pelajaran kepada mereka.
Orang mengabdi dapat dilihat dari sikap dan tindakannya yang jelas kepada atasannya (bekel,
wedana), harus dapat melayani dengan baik lahir maupun batin. Jika tidak sampai batin, sama
saja dengan tak percaya pada Tuhan.
Gusti itu sebagai atasan orang banyak, dan sebagai wakil Allah, yang adil para marta dan
kepadanyalah mereka harus percaya pula. Adil para marta berarti banyak memanfaatkan,
dengan demikian orang mengabdi harus rajin dan teratur dan dapat mengambil hati kawan,
sebaliknya dirinya harus juga senang memaafkan kesalahan orang lain. Dengan demikian orang
itu telah mendatangkan budi baik, dan kelak akan dibalas Tuhan. Selanjutnya orang dilarang
berbicara yang bukan-bukan, membicarakan kejelekan kawan, serta iren (menghindari tugas)
dalam pekerjaannya.
(57)
Bila ada kawan yang sedang dimarahi gusti, setidak-tidaknya dia ikut merasa susah pula,
lebih-lebih kalau kawan itu memang salah, kasihan, oleh sebab itulah orang harus tepa-selira.
Jadi dia tidak akan jelek dimata sesama abdi, kerna saling dapat menjaga, baik lahir maupun
batin. Teman yang baik itu bagaikan saudara, palagi bila dia itu lebih tua, maka rasa hormat
kepadanya sama halnya hormat kepada orang tua sendiri.
Kebetulan justru orang tadi lebih tua dan malahan menjadi atasannya pula, maka orang itu jelas
wajib disembah. Adapun orang yang wajib disembah itu, pertama ialah raja, kedua orang tua,
ketiga mertua pria-wanita, keempat guru kemudian kelima adalah saudara tua.
Sedang para adipati itu disembah karena mereka merupakan para wakil raja. Kemudian para
”mantri” menyembah ”tumenggung”. Sedang ”tumenggung” wajib menyembah ”patih”, patih itu
sendiri menyembah kepada saudara-saudara raja. Para pendeta ikut disembah pula, karena ia
sebagai guru. Semua sembah tadi teratur sesuai dengan golongan dan pangkat, dimulai dari
Tuhan Allah. Jadi semua makhluk harus menyembah Tuhan, serta utusan-Nya.
(58)
Kemudian sekali lagi diwajibkan menyembah raja lalu patih, adipati, keduanya sebagai wakil
pemegang tampuk pemerintah, berdasarkan adanya kebenaran atau kenyataan belaka. Jika ada
orang yang menjadi ”priyayi” dia harus mengetrapkan empat sifat: pertama sifat priyayi, kedua
sifat santri, ketiga sifat saudagar, lalu keempat sifat (orang) tani. Sifat priyayi berarti orang
harus mengtrapkan sopan-santun dan berbicara secara teratur. Tidak semena-mena, berpakaian
pantas, senang memberi makan. Berani dan berhati-hati, selalu membuat enak hati orang lain.
Dia tidak enggan menolong , dan rela memberikan apa saja tanpa pamrih.
Srlanjutnya sifat santri, pada dasarnya bersih dan harus suci, semuanya diserahkan kepada
kerahiman Tuhan, segalanya diterima dengan syukur, tidak banyak bicara. Sedang sifat orang
tani ialah sifat yang senang pada kejujuran, rajin dalam pekerjaan, ringan maupun berat tidak
menjadi soal, karenna itu sudah kewajibanya. Tidak senang mencela orang lain, tidak pula iri
hati, sikap sederhana, setia dan jauh dari sifat bohong. Sedangkan sifat saudagar, ialah sifat
yang penuh perhitungan. Dalam pekerjaan serba menanti, hemat dan selalu berhati-hati. Segala
tindakannya selalu diperhitungkan. Demikianlah keempat sifat tadi yang layak dipersatukan.
Jadi dalam sopan-santun agar mengetrapkan sifat priyayi, sucinya seperti santri, sedang
kejujurannya seperti sifat orang tani. Kemudian dalam soal hitung-menghitung, pantas memakai
sifat pedagang (saudagar). Jadi semua tindakan harus ditimbang benar-benar, dapat
mendatangkan hasil atau tidak. Kalau memang merugikan, agar jangan sampai berlarut-larut,
harus dihentikan. Sebab kalau tidak, sama saja dengan menyengsarakan diri sendiri.
DHANDANGGULA
Dalam mengerjakan sesuatu, orang harus waspada akan asal-mula apa yang akan dikerjakan.
Misalnya sesorang melihat permata yang indah, karena tertarik sekali, dia ingin memilikinya.
Dalam hal ini orang harus mengingat kemampuannya, dan ini merupakan suatu jalan tengah.
Sebab kalau diteruskan padahal tidak tercapai harga itu, tentu akan menyebabkan miskin saja.
Itulah arti dilarang menurut asal-mula, jangan sampai asal-mula tadi dilanjutkan berakhir jelek,
kalau demikian harus ditolak. Misalnya seperti tadi walau hati tertarik sekali, tapi harus ditahan
agar tidak membawa kesengsaraan. Memang asal-mula yang timbul dari kehendak diri itu banyak
yang baik, tetapi karena pengaruh nafsu, dan orang jarang ingat hal ini, maka akhirnya
semuanya serba tak terpikirkan lagi. Namun ada pula yang asal mulanya jelek, tetapi akhirnya
baik, selanjutnya ada juga pada mulanya baik tetapi akhirnya menjadi jelek.
(60)
Asla mula yang baik tetapi jelek itu, sebenarnya karena orang meninggalkan adat kebiasaan
yang dahulu sudah berhasi baik. Pada perasaannya hyal itu akan menambah sifat-sifat baik, dan
terus-menerus dilakukan. Tetapi karena secara penuh nafsu, maka tak tahunya justru akhirnya
menjadi rusak. Permulaan yang jelek namun berakhir baik, itu seperti halnya Seh Malaya yang
senang mengambil barang-barang milik orang lain. Pada suatu ketika kebetulan barang yang
diambil itu milik Sunan Bonang, yang telah mengetahui bahwa orang yang mengambil barangnya
itu sebenarnya orang baik. Sunan bermaksud unutk memperbaiki orang tersebut. Seh Malaya
mematuhi akan semua nasehatnya, kemudian dia dijadikan sahabat Sunan Bonang dan patuh
pada semua perintahnya. Lama kelamaan karena sangat keras bertapa, maka akhirnya menjadi
aulia hebat, bernama Seh Malaya atau Sunan Kalijaga. Oleh karena itu orang harus ingat,
apabila sesuatu bermula diawali dengan tindakan jelek, supaya bertobat kepada Allah dan keras
bertapa, supaya kelak mendapat ampun dari Tuhan yang bersifat belas kasih akan umat-Nya itu.
Dia selalu meluluskan permintaan umat-Nya, lebih-lebih bagi orang yang bertobat masih terbuka
bagi siapa saja. Sebetulnya tidak pantas mengenai ucapan seseorang yang merasa dirinya jelek,
kemudian membiarkan dirinya menjadi jelek terus (tidak perlu tanggung-tanggung). Biar saja
orang mendapatkan keberuntungan demikian pikirnya. Pikiran semacam itu sudah terjerat setan
dan nafsu amarah yang berkobar-kobar. Dia malu untuk mundur biar hanya sejengkalpun untuk
menjadi orang yang baik. Tidak mau dia mengakui adanya martabat rendah dan tinggi, tidak
mau mengakui adanya abdi, yang diakui hanya martabat yang tinggi saja. Itu tentu tidak
mungkin. Hidup di dunia ini sejak Nabi Adam, martabat rendah dan tinggi itu memang sudah
ada. Setelah mengalami martabat yang rendah, dengan teru-menerus bertapa, maka dia akan
mendapat ampun dari Tuhan.
Demikian pula bagi para nabi, ratu, wali, dan mukmin, ya pada orang-orang yang masih makan
nasi, akan mengalami hina dan mulia seperti itu.
Sementara ada juga orang yang menyesali dirinya, mengapa dirinya oleh Tuhan diciptakan beda
dengan yang lain. Dalam hati dia mengumpati raja, juga lurah atau bekel (atasannya), malahan
ada pula yang mengumpati orang tuanya.
(62)
Umpatan dalam hati tadi sering keluar dalam ucapannya, yang tidak disadari bahwa sebenarnya
dirinyalah yang bertindak hina, kurang rasa terima kasih dan tobat kepada Tuhan. Padahal orang
memohon kebaikan itu, harus disertai dengan laku ”laku” yang bersih. Syukurlah apabila
permohonannya diterima. Kecuali bagi orang yang telah berbuat baik (menghutangkan) kepada
raja, lurah dan bekel, karena telah menyalesaikan semua tugas yang terlihat maupun yang tak
terlihat, jelas permohonannya diterima secara lahiriah.
Apabila sudah mendapat anugrah dari Allah, dengan perantara raja (karena kasih raja
kepadanya), seharusnya orang itu tahu, berapa luas sawah pemberian raja, berapa hasilnya.
Semua tadi dihemat dan diperhitungkan, ini merupakan tindakan yang terpuji untuk memelihara
anugerah Tuhan, dan pemberian raja. Sebagai bekal orang mengabdi, harus memperhatikan
semua tugas antara lain, pakaian untuk menghadap, dan tindakan tadi diusahakan supaya dapat
bertahan.
Tidak perlu sombong, membanggakan dirinya, sifat seperti itu menghambat orang dalam
melakukan tugas.
(63)
Jika seseorang ditakdirkan mempunyai kedudukan mantri, dia harus memakai adat kebiasaan
sebagai mantri, yaitu harus memperhatikan 3 hal, ialah: ”nistha”, ”madya”, dan ”utama”. Atau
dengan kata (dari pandangan sudut) lain (kiri) yaitu tiga tempat : Janaloka, Endraloka dan
Guruloka. Janaloka tempat manusia pada umumnya, ya di bumi ini, sedang Endraloka dalah
istana Dewa Endra. Kemudian Gurloka ialah istana Bathara Guru. Dalam ketiga hal tersebut
berarti orang harus tahu akan sopan-santun, tahu akan tugas masing-masing, yang baik maupun
yang jelek, serta tindakan yang hina maupun mulia.
Mengetahui Endraloka berarti tahu akan cara menyembah dewa satu-persatu. Kemudian
Guruloka, seorang mantri harus tahu cara menyembah Guru ini. Adapun cara tadi dapat
dilakukan asal orang itu dapat mengetahui sarengat (peraturan agama Islam), tarekat
(pengetahuan mengenai kewajiban dalam agama Islam), serta hakekat atau kenyataan yang ada.
Denag kata lain dia harus tahu pula akan ”nistha, madya, utama” sopan santun, dan undangundang
negara. Demikianlah sarana kesempurnaan bagi orang hidup yang tercantum dalam
ketiga macam cara tadi.
Apabila seseorang ditakdirkan menjadi bupati, bupati itu sama dengan raja, oleh karenanya dia
mempunya tugas mengatur daerah. Kecuali itu mempunyai pula tugas mengatur perkara yang
mungkin memalukan juga, dia harus dapat bertindak supaya perkara tadi tidak tersiar.
(64)
Orang menjadi bupati tidak mudah, sebab lahir batin bertanggungjawab atas daerahnya.tidak
boleh hanya menikmati kewibawaan serta kemuliaan itu saja, tetapi harus selalu siap sedia.
Pertama, adalah menanti perintah raja. Kedua selalu waspada terhadap daerah di luar
wilayahnya,untuk menjaga jangan sampai ada persoalan. Bilamana terjadi persoalan, supaya
dirunding dengan baik, dan jika sudah sepakat supaya cepat dilaksakan, tidak perlu
ditunda-tunda lagi.
Sebab ini menjadikan beban pikiran saja, jangan-jangan malah dapat menimbulkan bahaya.
Ibarat sumur yang lama tidak diambil airnya, maka didalamnya tentu penuh tanah kotoran,
beserta ijuk, beling, dan bambu-bambu kecil. Kalau dibersihkan (diambil), sukar dan sangat
berbahaya. Hal ini dapat terlaksana bila mendapat bantuan atau anugerah dar Allah. Tetapi
bukannya hanya menanti-nanti saja akan datangnya anugerah tersebut, namun harus disertai
dengan usaha pula. Biarpun nanti usaha itu berhasil dan tanah kotoran tadi dapat terangkat,
tetapi kesukaran lain masih banyak. Sama saja seperti beras yang tumpah, bila diambil dan
ditimbang (ditakar) lagi, tak mungkin kembali seperti semula. Sebenarnya hal itu harus disadari
sebab-musababnya, ternyata tiada lain karena dia mendapat murka dari Tuhan, atas
tindakannya yang suka berlarut-larut itu. Sebab andaikata sesuatu yang menjadi putusan
tersebut cepat dikerjakan, tentu selamat. Tidak perlu berbeda pendapat semua sepakat menjadi
keputusan. Bila tak ada kesepakatan maka hasilnya mengecewakan. Sebagai seorang bupati
harus menjaga nama, harus memegang teguh pendapatnya, jika sudah menjadi putusan, dengan
tekat mantap harus dilaksanakan biarpun itu penuh bahaya.
Mantap adalah sari ilmu. Di dalam hidup, agar segala kehendak orang dapat berhasil, maka
tindakannya harus disertai ilmu. Bukan hanya secara menghabiskan kekayaan orang lain saja
untuk mencapai kesenangannya.
(66)
Sebagai seorang abdi, cara seperti itu sangat hina dan melanggar peraturan negara yang baik.
Berbeda dengan nahkoda yang kaya, yang tugasnya memang tak ikut merembug tentang wilayah.
Dia hanya memikirkan kesenangan hidupnya saja, bagaimana mendapatkan laba, bagaimana
supaya uangnya semakin bertambah, demikianlah yang dipikirkannya. Lain hal dengan orang
yang menjadi patih yang merupakan wakil raja, bila hatinya jahat terhadap yang diwakili, itu
lebih berbahaya lagi. Jadi seumpama keris (raja) dengan sarungnya (patih). Bila keris itu tak
dapat masuk ke dalam sarungnya bagaimana keadaan seperti itu dapat menjadi baik. Andaikata
kedudukannya dapat bersatu (patih dan raja), tetapi patih tadi tak dapat memerintah para
senopati dan mantri, maka kesalahan kecil dari mereka akan ditimpakan kepadanya.
Memikirkan tentang negara. Negara yang penuh persoalan, sebenarnya didalam telah ada
pengadilan yang diatur, untuk mengadili hal yang benar dan yang salah, yang melanggar adat
dan yang menganut adat kuna. Selanjutnya hal-hal yang baik diambil untuk diterapkan dan
disesuaikan dengan zaman sekarang. Mantri sendiri tak dapat mengetrapkan hal-hal seperti itu,
sebab hanya patihlah yang berkuasa. Disini berarti bahwa sebenarnya baik mantri, tumenggung,
maupun ketua desa, dapt juga mengetrapkannya, tetapi mereka tak berhak dan tak berguna.
Kalau orang-orang tadi diberi kuasa pula, berarti merusak peraturan itu sendiri. Jadi jelaslah
siapa yang menjadi patokan, siapa yang mentukan sikap, patihlah yang betu-betul berkuasa,
melakukan segala perintah raja. Keduanya merupakan dwi tunggal bersenyawa seperti keris
masuk dalam sarung, atau sarung masuk ke dalam keris, bersatu padu, menjadikan negara
bertambah kuat.
Di dalam hukum, setiap wilayah sudah mempunyai bagian (tugas) sendiri-sendiri, patih tinggal
memeriksa saja. Disini patih harus dapat memilih orang-orang pandai sebagai perabot desa yang
sesuai dengan jabatannya. Oleh pengubah nasehat yang diutarakan bagi orang yang menjadi
patih tidak perlu diperpanjang lagi. Sebab dahulu kala sudah banyak contoh bagaimana cara
melaksanakan tugas yang dapat berakhir baik, sedang, dan jelek. Seyogyanya orang mengucap
syukur kepada Tuhan karena dari kodrat Allah, dengan perantaraan raja, seseorang dapat
menjadi orang besar atau orang luhur. Kecuali itu dapat pula seseorang bermula sebagai orang
luhur, tetapi kemudian menjadi orang hina. Semuanya tadi dimaksud untuk contoh agar dicatat
dalam hati sebagai teladan anak cucu.
KINANTHI
XI. Kesebelas
Di dalam bab sebelas ini kyai Yasadipura membicarakan antara lain tentang turunnya derajat
dan berubahnya wahyu (anugerah Tuhan). Nasehat kepada generasi mendatang, berupa pesan,
supaya mereka itu mengetahui dengan seksama bahwa berkurangnya derajat atau martabat dan
berubahnya wahyu itu, disebabkan oelh rasa melik (ingin memiliki), yang membawa ke sifat
lupa. Misalnya seseorang yang melik dengan cara mengurangi pangan orang kecil yang
berpanghasilan kecil pula, itu keterlaluan. Sebenarnya hal itu hanya karena menuruti hawqa
nafsu saja. Inilah yang menyebabkan berkurangnya martabat. Bukan karena jumlahnya sedikit
yang tak kentara, seperti halnya bulu badan yang lembut dicabuti tak terasa sakit, tetapi jelas
dari perbuatan itu dapat nenuman (ingin melakukan terus) nafsu jahat tersebut. Selanjutnya
justru terlihat bahwa semua tindakannya menyimpang dari peraturan. Apabila tindakan itu
kemudian terlalu menyimpang, maka wahyu tadi dengan sendirinya akan beralih. Hal ini dapat
diumpamakan seperti orang yang hendak membeli barang kesenangannya : kuda, keris, emas,
permata atau kain yang bagus, ataupun barang barang sepele yang berharga murah. Dia
menawar baraang itu dengan harga tinggi, kemudian barang diberikan atas penawarannya tadi.
Tetapi orang tersebut ragu-ragu, kemudian pembelian itu dibatalkan.
Kegagalan tadi dikarenakan oleh bermacam-macam sebab, antara lain harga barang terlalu
tinggi, jadi ia saying akan uang yang terbuang. Dengan demikian martabat dia akhirnya
berkurang, memang sudah wajar bahwa priyayi itu kalau membeli, uang pembayarannya
malahan agak lebih dari semestinya. Lebih-lebih bila sudah berjanji, maka bila gagal, hal itu
dapat menyakitkan hati. Oleh sebab itu tindakannya harus dijaga baik-baik sayang kalau
martabatnya menjadi rusak. Sebuah perumpamaan lagi, seandainya seseorang senang keris yang
baik bentuk maupun tangguhnya (sifat keris menurut jeman empu yang membuatnya. Sayang
bahwa keris tadi sebuah wasiat, jadi agak sukar untuk memilikinya. Tetapi karena sangat senang
dan ingin memilikinya, maka dicarinya akal keris tadi dibayar dengan harga tinggi. Yang
empunya keris takut, keris diberikan, jadi keris tersebut cara memilikinya dengan paksa.
Sebenarnya bila barang itu wasiat, cara demikian tadi tidak baik. Orang itu tak akan dapat lama
meiliki barang tadi, akhirnya wahyu itu beralih juga dari dirinya. Lain halnya apabila yang
mempunyai keris wasiat itu sendirilah yang menjual, karena dia butuh uang. Sebaiknya keris itu
dibeli saja dengan harga umum ataukah dibayar lebih tinggi dari permintaannya. Dalam jual beli
tadi, seyogyanya pembeli mengatakan bahwa wasiat tadi diminta kerelaannya, supaya sah dan
tetap menjadi miliknya. Memang wasiat itu dapat dijual karena butuh uang dengan dalih untuk
menolak kemiskinan. Tetapi ada pula yang mengatakan bahwa selama dirinya masih hidup, keris
itu takkan lepas dari lambungnya.
Orang yang berkata demikian tadi memang betul, selagi dia benar-benar mantap dan dapat
menetapi (memegang teguh) ucapannya. Tetapi jika ingkar, sungguh berbahaya sekali terhadap
keris yang dimuliakan dan dianggap sama seperti orang tuanya sendiri itu. Hal ini berarti bahwa
betapa berat rasanya bial orang tak mempunyai pakaina dan tidak makan, serta tak
berkepandaian pula. Bila ragu-ragu keran kurang ilmu, maka dia akan mudah dipengaruhi iblis.
Hati diarahkan ke perbuatan sesat, lalu keluarlah pikiran yang jahat, lama –kelamaan ia menjadi
penjahat.
Dia memperguanakan barang pusaka untuk mencuri, karena banyak perbuatan jahat yang telah
dilakukan, maka pada suatu saat dia tertangkap. Lehernya dipukul patah, dan meninggallah dia.
Mayatnya terkapar, barang pusaka sudah dirampas oleh yang memukul. Selanjutnya kentongan
dipukul bertalu-talu, mayatnya diikat “dibongkok”, lalu dibuang, seperti kebiasaan yang terjadi
pada peristiwa seperti itu. Di sini tak ada orang yang menggugat, demikianlah hasilorang yang
kruang berpikir, tak berpengetahuan, dan tak mau berusaha. Setelah dipukul ternyata nyawanya
melayang juga. Dan ternyata khasiat yang diandalkan dari pusaka itu telah hilang tuahnya. Besi
dianggap bertuah, kalau dahulu dijual, maka uang hasil penjualan itu dapat dipergunakan untuk
modal. Hasilnya dapat dinikmati sedikit demi sedikit untuk penangkal sifat tamak dan sombong.
Jika laku dengan harga tinggi,itu sebagai upah jerih payahnya.
Sebenarnya tuah yang benar, bagi manusia hidup, bukannya tuah dari tombak-keris tetapi
berasal dari petunjuk-petunjuk atau nasehat-nasehat yang baik. Kepercayaan pada barang
lahiriah tak dapat membentuk hati baik. Biarpun dia membunyai wasiat buatan Pejajaran, yang
terkenal baik, juga buatan Siyung Wanara, tak akan dapat merubah sifat dan hati pemiliknya
menjadi baik, kalau hatinya memang jahat. Di sini si setan menggoda, wahyu orang tadi dan
tuah dari wasiat yang diandalkannya lari terbirit-birit, ternyata wasiat itu tak berguna lagi.
Seperti kisah di jaman dahulu yaitu putrra sang Resi Drona. Aswatama mempunyai pusaka yang
sangat diandalkan. Pusaka tadi hadiah dari Dewa, berupa sebuah panah bernama Cundhamanik.
Panah milik Aswatama itu untuk menumpas kedurhakaan, tetapi digunakannya utnuk mencuri di
daerah (pakuwon) perkemahan Pandawa.
Kita ringkas saja cerita ini, Aswatama mendapat murka dari Dewa, Dewa Warna turun, dan
pusaka Chundamanik dimintanya. Kemudian pusaka itu diberikan pada keluarga Pandhawa,
Aswatama tinggal “melongoh” tak bekutik. Dia mohon ampun tetapi tidak dikabulkan oleh sang
Kresna, maka hilanglah wahyu Aswatama dan hukuman pancunglah yang diterimanya.
Kisah dari sudut lain ialah sewaktu Sunan Giri, tidak menghadap ke Majapahit, rakyat seluruh
daerah Giri dapat dikuasanya. Sang Prabu Majapahit memberi perintah pada para perwira untuk
menggempur Giri, dengan perlengkapan perang yang besar. Setiba di Giri pasukan tersebut
menyerang, rakyat berlarian mengabarkan kepada Sunan Giri kalau ada musuh besar dating
menyerang. Pada waktu itu Sunan Giri sedang asyik menulis atau membuat buku, yang ditulisnya
itu buku mengenai islam. Anak isterinya menangis bersama, dengan cepat suan Giri membuang
alat tulisnya yang segera berubah menjadi keris. Keris tersebut lalu mengamuk menghadapi
musuh. Kangjeng Sunan enak-enak duduk, hanya alat tulisnya saja yang lmengamuk. Beberapa
orang meninggal terbunuh oleh keris tadi, sedang yang lain melarikan diri pulang ke Majapahit.
Kalammunyeng demikian nama keris itu, lalu kembali menghadap Sunan Giri. Kangjeng Sunan
bersabda. “ Hai kalammunyeng, karena kau terjadi dari kalam, maka kembalillah kau menjadi
kalam lagi”. Kalammunyeng segera berubah menjadi alat tulis kembali. Demikianlah hasil tindak
utama dan hati sempurna, dari sikap dan perbuatan seorang wali. Oleh sebab itu janganlah slah
tafsir, mencela orang yang membutat perumpamaan itni, sebab belum tentu setiap orang dapat
menirunya. Orang yang salah tafsir berarti mengaburkan maksud perumpamaan tersebut.
Meskipun seseorang dapat bersikap baik dan menganut para wali, tetapi mustahil jika dia dapat
meniru sikap dan tindakan seorang wali dalam hal perbuatan dan budi pekerti yang baik.
Misalnya dapat meniru, ya hanya seperseratus saja bahkan hanya sepersepuluh ribunya dari
sikap dan perbuatan wali. Sedang seluruh orang Tanah Jawa yang beragama islam, semua
mencontoh para wali tersebut.
Di sini penggubah minta kepada kita supaya membandingkan kebesaran Nabi Muhammad dengan
para wali. Lebih mulia dan luhur siapakah sebenarnya, Sali atau kangjeng Nabi. Kangjeng Nabi
yang jelas sah mengemban perintah Allah, menjdi cotnoh di dunia bagi mereka yang menganut
beliau.
Oleh sebab itulah beliau ini mendapat sebutan Nabi Panutan yang berarti dapat ditiru semua
perbuatan beliau.
(73)
Dengan demikian penggubah tak perlu memperpanjang perumpamaan-perumpamaan, walaupun
ada diantaranya yang menertawakan penggubah. Sebab orang muda jaman sekarang ini banyak
yang pandai memakai cerita Rama bahasa Jawa Kuna (Kawi) dan biarpun pandai tetapi hatinya
penasaran, tergesa-gesa mencela orang lain. Padahal belum dipertimbangkan masak-masak,
apalagi mengerit persoalan tersebut. Maklumlah, sewaktu penulis sendiri masih muda, kerap kali
juga suka mencela orang lain, karena merasa dirinya lebih pintar.
Ada seorang pujangga berasal dari Ngeksiganda, pendapatnya oleh penggubah tiap hari selalu di
sanggah, baik mengenai tulisan maulpun bahasanya. Ternyata orang tadi memang bukan
pujangga betul-betul. Artinya orang tersebut tidak memiliki kepandaian benar-benar, masih
meminjam kesana-kemari, berserabutan tak karuan. Penggubah sendiri heran, dan kini setelah
merasa berumur, menyesal juga, jangan-jangan sifat keras hatinya ketika masih muda akan
berlarut-larut sehingga hal itu tentu berakibat tidak baik.
DHANDHANGGULA
Dalam bagian ini penggubah masih membicarakan tentang sikap atau tindakan yang
menyebabkan turunnya derajat. Dikatakan bahwa anak cucu dilarang membuat rumah yang
berlebih-lebihan besar, bagus dan indahnya hiasan, dalam arti tak boleh melebihi ukuran. Hal ini
pasti tidak dapat diubah akan turunnya derajat, sementara ada perubahan martabat, dalam
jaman pangiwa maupun panengen. Hal tersebut sejak Nabi Adam hingga jaman sekarang, tahun
Alip (1747), bagi orang besar maupun kecil ternyata tak ada bedanya. Dahulu di tanah Arab, para
raja membuat istana yang menyerupai surga, ternyata bahwa mereka itu tak ada yang selamat.
Jaman pangiwa demikian pula. Para raja yang kuat baik berupa raksasa maupun manusia, yang
membuat istana seperti surga juga tak ada yang selamat. Sedang sekarang rakyat kecil di
desa-desa maupun di kota, serta para orang besar yang lain, tak diperkenankan membuat rumah
besar seperti tersebut di atas. Demikian pula bagi raja-raja, karena itu sudah umum termasuk
dalam adat. Adakah benda pengangkal agar orang tak mengalami kemerosotan derajat karena
hal tersebut. Penggubahnya berani memastikan dengan taruhan potong leher atau bayaran
berapa saja, asal langit dan dunia ini masih ada, demikain pula bulan, bintang dan matahari
masih bersinar, jelas hal itu tak dapat dirubah.
Penggubah merasa tobat terhadap Tuhan, karena telah terlanjur dalam ucapannya, yang berani
menentukan sesuatu. Hal ini disebabkan oleh hati yang mendongkol, karena memberi nasehat
kepada anak cucu sendiri, tetapi tak diperhatikannya. Nasehat yang diambil dari ilmu adat
jaman dahulu, Karena berkat Tuhan, maka semua tadi dapat dipetik sebagai contoh. Ada
segolongan yang menyatakan, bahwa lebih baik mengurus pekarangan (halaman), dengan sebaikbaiknya
saja, supaya mendapat dua macam pujian. Pujian pertama, ialah setiap orang yang
melihat, mengatakan pekarangan itu bagus dan bersih, mengenakkan hati. Pujian kedua, yaitu
pujian dari tuannya, yang menandakan bahwa dia mendapat berkat dari raja. Ucapan itu
memang betul, juga, tetapi sebaiknya tak berguna bagi jiwa dan raga, itu hanya pujian basa-basi
saja. Sedang pujian yang betul-betul berguna lahir batin ialah yang berasal dari “gusti”
(majikan). Pujian tadi pujian yang tulus keluar dari hati sanubarinya, dapat menyegarkan badan.
Biarpun seseorang mempunyai rumah bagus, namun dalam tugasnya selalu sealh dan tak
cekatan, tak urung akan dimarahinya juga.
Sedangkan pujian yang berasal dari banyak orang, itu merupakan pujian kosong, hanya dapat
dibuat penopang balai-balai saja. Ada orang menyanjung, kebetulan orang yang menyanjung
tadi, bertamu ke rumah seseorang. Karena tidak dijamu, maka sanjungannya tidak
berkobar-kobar lagi, akhirnya hilangm dan disertai perut kosong dia kembali pulang.
Kemudian pujian yang benar-benar tulus, itu terjadi apabila seseorang memiliki rumah yang
sedang-sedang saja besarnya, tetapi kawan atau siapa saja yang bertandang ke rumahnya pasti
dijamu, mereka pulang tentu denga perut kenyang. Nah pujian mereka itu memang tulus dan
sungguh-sungguh bermanfaat. Yang jelas tak perlu diperlihatkan, karena rumah tempat tinggal
itu memang tak dapat dibawa ke balairung menghadap “gusti”, ataupun untuk ampilan (barang
bawaan). Apabila semua cara yang menyebabkan menurunnya (anugerah Tuhan) derajat,
demikian pula tentang bergesernya wahyu, kalu ditulis akan penuhlah halaman ini. Kecuali itu
masih ada lagi contoh-contoh seperti yang telah dibicarakan, misalnya tentang hal yang
menyebabkan hina. Apabila hal itu berlarut-larut tak dapat dikekang, suatu tanda bahwa
anugerah Allah akan menjauhi diri orang tersebut.
Demikian pula semua perbuatan yang menaniaya dan mengakibatkan dosa orang lain. Semua
perbuatan itu karena tak diketahui banyak orang, hanya disaksikan oleh saudaranya yang tua
saja, bahkan dicegahpun dia tidak mau, maka ini menandakan pula akan bergesernya wahyu.
Sebab wahyu itu akan terlihat lebih jernih, bersinar seperti bulan. Wahyu kecil bersinar seperti
bintang terang, kalau orang itu berbuat jahat, marah sekali dia, cahayanya kelihatan pudar. Dia
pasti menghindar dan melarikan diri. Bagi dia tempat bukan masalah untuk dirasukinya. Dia
dapat mencari tempat ke tubuh orang yang berhati suci, bijaksana serta berbudi, dan
berbahagialah mereka yang dapat menjaganya. Menjaga wahyu sejati memang sulit, namun
mudah juga kalau betul-betul mau mengerjakan. Utnuk menjaganya yaitu dengan cara, harus
ingat dan selalu waspada. Tidak boleh melupakan Tuhan, menyerah dan siap sedia, gagah dan
tidak terburu nafsu. Berhati lapang dan selalu tertib, tujuannya hanyalah membuat selamat.
Dengan sarana cinta kasih, sesuai dengan ajaran agamanya, maka segala sikap hanya “pasrah”
kepada Allah saja. Seyogyanya memperbesar doa syukur, dan doa untuk mencari keheningan.
Hening dalam arti menerangi hati untuk mengurangi makan dan mengurangi tidur. Itulah suatu
usaha atau cara untuk memelihara derajat atau martabat. Disertai rasa terima kasih dalam hati,
dan dibersihkan lewat sastra Jawa Arab, tahu akan arti, kemudian tahu pula akan segala hokum
dan sopan santun. Kesemuanya tadi harus dicamkan dalam hati sanubari dengan mantap.
Demikian tadi dapat menjadikan hati teguh tak tergoyahkan menghadapi segala bahaya dengan
bersenjatakan nasehat.
Nasehat dari guru yang bersifat adil, yang selalu memberi apa yang diminta orang muda dan
bodoh, dialah yang selalu memberi makan orang fakir-miskin, maka kepadanyalah kita harus
berlaku ramah. Jangan sampai membicarakan yang bukan-bukan, sebelum diteliti betul-betul,
agar hati terlatih memikirkan keutamaan.
Usahakan agar dapat menjada dan memelihara anugerah Allah, cara itu terdpat dalam sikap hati
kita sendiri. Kita harus kuat dan bertahan dari godaan setan, jangan malas bertindak. Sikap itu
dapat menghalangi kehendak untuk bertindak berbuat baik. Perbuatan baik adalah pencerminan
anugerah Tuhan yang menandakan adanya kasih Allah.
(78)
Banyak sudah kelalaian-kalalaian yang terjadi, karena sikap yang ragu-ragu terhadap Tuhan.
Sikap jujur yang mengarah kabaikan telah hilang, hanya tertarik akan perbuatan jahat. Berxifat
kikir dan dengki, hanya perselisihan sajalah yang diutamakan. Pagar hatinya telah hilang, maka
yang lallu-lalang hanya hal-hal yang ngawur dan mustahil.
Disertai bermacam-macam sarana, ternyata pada hakekatnya manusia selalu mencari hal-hal
yang baik. Rasa hati selalu menginginkan segala yang serba harum, bagaikan orang merayu saja,
kalau belum memperoleh takkan dihentikan.
Demikian tadi tindakan yang diusahakan dengan segala cara. Apabila dirasa melalui pandangan
hati dan penglihatan tepat, sudah mengenai sasaran, maka jalan untuk menuju ke anugerah
Tuhan yang serba terbatas itu, makin jelas untuk dilakukannya dengan tertib.
XII. keduabelas
Dalam bab keduabelas ini KYai Yasadipura, menguraikan tentang perubahan dalam alam semesta
sesuai dengan jamnnya, yaitu jaman kalisengara dan Kaliyoga. Pada jaman Kalisengara itu dapat
diketahui dengan banyaknya (tanda-tanda) kecelakaan, berita-berita bohong dan kasak-kusuk,
kecuali itu banyak terjadi huru-hara, bencana alam, dan lain-lain yang menjadikan rusaknya
Negara. Pada waktu inilah orang harus berhati-hati, dan mereka harus sadar bahwa mereka
berlindung pada Negara dan raja. Lagi pula mendapatkan pangkat dan pangan darinya, mustahil
bahwa orang-orang itu tidak ikut berprihatin.
(79)
Mereka harus selalu mohon keselamatan kepada Tuhan, mengurangi makan dan tidur, jangan
sampai membuat murka raja. Jika hal itu sampai terjadi, diusahakan supaya kemarahan yang
Maha luhur itu menjadi tawar sedikti demi sedikit. Hal ini sebenarnya telah menjadi kewajiban
orang-orang di Negara itu sendiri baik laki-laki maupun perempuan, besar maupun kecil untuk
selalu berdoa kepada Allah.
Di samping itu dianjurkan pula supaya mereka membuat sedekah (selamatan) sebagai penangkal
bala, walau tak ada perintah dari raja. Lebih-lebih bila raja memerintahkannya, maka perintah
itu harus segera dilaksanakan dengan cepat dan semangat. Tetapi ada pula setengah orang yang
mengatakan bahwa carea itu sebenarnya merepotkan. Huru-hara ataupun ketenteraman itu
jelas dialami bersama-sama orang banyak, jadi tak perlu dipikir, hanya menambah susah dan
merusak pikiran saja. Kata-kat demikian tadi biarpun sifatnya hanya kelakar dan tidak sungguhsunguh,
tetapi bila hal itu nanti (terlanjur) benar-benar terjadim maka dia sendiri akan pontangpanting
lari mengungsi tak teruruskan.
Dia akan menyesal kelak, bahkan dia itu tak sadar bahwa hirup di negera seorang raja, dan
selamanya ia akan berlindung ditempat itu. Andaikata Negara tadi sebuah rumah besar, didiami
oelh orng banyakm, disitu ada sesuatu yang rusak, atap bocor misalnya. Apakah orang-oarang
tadi enak-enak tak ikut memikirkannya, tentu tidak. Ya semampu mereka, biar kecil atau besar,
mereka berusaha agar (rumah) Negara itu kkuat, dan orang banyak yang berlindung itu juga
selamat. Jadi mereka itu memperoeh martabat baik, seperti apa yang berlaku kpada manusia
umumnya. Bukan seperti dia yang bermartabat rendahm ada huru-hara malahan senang. Dia
melarikan diri sambil mencopet, tak tahunya justru dia sendiri yang tertinggal. Jangan sampai
ada orang salah paham, demikian tadi adalah sifat orang yang rendah budi, tak usah dimasukkan
dalam hitungan, dan tak berguna diceritakan berkepanjangan.
Sebenarnya tidak boleh demikian hai anakku sesuatu hal yang besar maupun kecil, yang setia
dan yang tidak, smua kelakuan tadi dapat dijadikan teladan. Hanya sayang bahwa uraian ini
diikatakn oleh Kyai Yasadipura sendiri mungkin kurang teliti, disebabkan katanya dia itu masih
kurang pengetahuan. Dikatakan bahwa dirinya bodoh, memang demikianlah adanya. Karena
terdorong oleh kemauan yang keras utnuk memberiknasihat. Ya biarpun bodoh tidak perlu malu.
Malu tadi dengan sendirinya hilang, maka dengan modal caranya sendiri yang katanya tanpa
pengetahuan sastra itu, penggubah melaksanakan maksudnya.
Kemudian penggubah mengatakan bahwa apabila terjadi perubahan (kegoncangan) di daerah
lain, anak cucu supaya waspada. Sebagi contoh pada waktu dahulu, ketika Jakarta pada mulanya
berperang melawan Cinam ternyata lama-kelamaan merambat ket timur, dan terjadilah
huru-hara di Kartasura. Negara Kartasura kalah, keadaan menjadi prak-poranda, disebabkan tak
adanya kesatuan tekad.
Para pembesar saling tak bertanggung jawab, rakyat kecil bubar gugup mengungsi
kemana-mana. Sudah biasa adapt prajurit Jawa itu seumpama tumpukan batang rangaki padi
yang dibuat sebagai bendungan. Maka pabila ada air bah yang deras melandanya, nixcaya jegol
hberantakan. Seperti halnya sapu lidi lepas dari ikatan saja, tersebar kesemua penjuru, dan
orang-oran tadi lupa akan raja mereka.
(81)
Perubahan-perubahan di luar daerah yang dahulu pernah terjadi, akan memakan banyak temapt
jika ditulis, yang jelas anak cucu harus berhati-hati, harus waspada. Harus dicari apakan asal
mula yang menyebabkan Negara (lain) itu bergolak. Kita harus berpikir dengan lembut,
bagaimana supaya pergolakan itu tidak berkembang dan merembet ke daerah kita.
Pandangan yang kurang lembut (teliti) jelas tak berfaedah. Jika pendangan itu berfaedah tetapi
tercampur ketamakan, maka hal litu sama halnya denga pedang yang murahan. Jika pedang itu
dipergunakan dengan kasr, mata pedang tadi akan cepat putus. Tetapi jika depergunakan dangan
halus, mata pedang akan kuat tak lekas putus. Apabila para prajurit itu sepak terjangnya halus,
maka pedang yang ditujuka kepada mereka akan meleot (melengkung), mereka menjadi kebal
terhadapnya. Tetapi jika mereka tadi bersikap keras maka pedang akan putus mengenainya dan
mereka akan kalah. Contoh sperti ini pada jaman dahulu sudah banyak terjadi, misalnya ketika
Kresna mengutus Gathotkaca, disini petunjuknya kurah halus (mengena), karena tidak mengingat
tempat dan suasanayna. Ksatria yang diutus tadi sduah berada di medan perang, sedangkan di
tempat ini sudah banyak korban berjatuhan. Menyaksikan suasan tadi Gathotkaca merasa
menyesal dan putus asa, nah inilah kesalahannya.
Sudah pada tempatnya bahwa orang berperang itu tentu kalah atau menang, ya kalau tidak
membunuh ya dibunuh. Sedang Kresna sendiripun juga bersalah, yaiut karena kematian Resi
Drona dahulu, disebabkan oleh tipu muslihatnya yang diujudkan dalam kata-kata sebatgai
jebakan. Di kemudian hari aswatama (putera Drona) membalas dendam. Dia berlaku jahat di
pakuwon Pandhawa; di tempat itu ia membalas dendam dengan membunuh sebanyak tiga orang.
(82)
Demikianlah kejadian-kejadian yang dapat menjadi suri tauladan, dan semaua tadi supaya selalu
diingat. Dengan demikian tidak perlu membaca sastra Jawa dan Arab denga suara keras dan
bergaya, yang penting maksud dan isisnya dapat dimengerti, misalnya perubahan dalam negeri
tetangga sendiri.
Jaman dahulu di Negeri Ngeksiganda (Mataram) sewaktu jayanya, terdapat pula kericuhan di
dalamnya. Kericuhan tadi menyebabkn pecahnya negeri tersebut dan menyababkan rakyat kecil
kalang kabut. Sedang yang mendjadi peraga keadan tadi ialah Trunajaya si celaka yang semakin
berani, dia tak menyadari akan asal mula dirinya.
Sebenarnya bila ada pergolakan (perubahan) dunia, rakyat kecil tidak boleh dilupakan. Mereka
harus waspada dan sabar, baiklah selalu memohon kepada Tuhan, agar pergolakan tadi gagal,
seperti apa yang telah terurai di depan. Sebab andaikata hal itu terjadi, akibatnya rakyat
kecillah yang menderita, dan demikianlah dalam jaman Kalinsengara itu.
Dalam jaman tersebut orang-orang besar semua tedesak, tetapi setelah jaman Kaliyoga,
orang-orang besar tadi banyak memperolah kebahagiaan. Itulah adapt Jawa, oleh karenanya
siapa yang diciptakan sebagai orang kecil, mereka harus insaf, suapaya mereka itu jangan
sampai terbengkelai. Baiklah mengikuti perubahan negeri dengan mantap, tidak boleh hanya
enak-enak saja.
MIJIL
Bila ada orang ya siapa saja yang mnyatakan secara berbisik-bisik bahwa dia serba mengetahui
(mengalami) waktu daerah itu bergolak, padahal ternyata orang tdi masih muda, tak sesuai
dengan jaman yang diceritakannya, maka ucapan tadi cukup didengarkan saja. Sebab kalau
diperhatikan betul-betul, kpembicaraan itu merupakan setan yang membuat tidak tenteram.
Orang demikian tadi tak perlu ditegur, cukup disambut dengan kata setuju saja, asal dalam diri
sendiri dapat menimbang mana yang benar dan yang buruk, agar tidak keliru kelak.
Sebenarnya bukan hanya terhadap orang itu saja dia harus waspada, bahkan terhadap orang lain
pun harus demikain juga, lebih-llibih terhadap orang yang dahulu tersohor sering berdusta.
Sebab sekarang ini banyak kabar angina, kabar bohong, banyak berita yang tak ada
kenyataannya, walaupun kabar itu berasal dari pruyayi (orang yang dapat dipercaya).
Andaikata Tuhan menitahkan sesuati yang tak nyata, ini selalu diintip oleh setan. Hal-hal
Diposkan oleh Andhika Utama di 1/18/2011
Reaksi:
tersebut makin ditambah-tambah, dibuat sedemikian rupa sehingga menjadikan geger. Jikasudah
geger (huru-hara), orang dapat memgpergunakan kesempatan tadi untuk memperolah sesuatu.
Membuat cara dengan mengajak berbuat jahat, membuat susah dan amarah orang lain. Ya
pokoknya dengan cara apa saja asal terpenuhi kehendaknya. Dia tidak malu berbuat hina,
berbuat dosa, memang ia sudah nekat dan sengaja mengikuti setan (berlaku jahat). Apabila
seseorang telah bertekad demikian, suka auntik diajak berlaku baik. Orang yang bercicaraseperit
itu, tak pelak lagi sikapnya tentu menjengkelakn. Bila berbicara dengannya haus pandai
berpura-pura, sebab sebenarnya orang lain sudah tahu bagaimana sifat dia, dan tidak
sepantasnya apabila dia mngajak berbicara tetapi tidak dilayaninya. Dengan cara demikian
maka semuanya akan selamat, yang seorang tidak tersinggung, yang seorang lagi takkan
terbawa-bawa. Seperti halnya anak kecil sedang bermain-main menirukan orang berbelaja.
Sebenarnya apa yang dikatkaannyaitu terbawa dari kata-kata orang tua bila sedang bercakapcakpa,
kemudian anak kecil yang mendengar tadi meniurkannya. Lama-kelamaan apa yang
diomongkan tadi , ternyata terlaksana benar-benar. Demikianlah salah sebuah hal yang termasuk
perubahan dunia, dan yang sebelumnya sudah diberi tanda-tnda lebih dahulu. Oleh sebab itu
orang harus waspada dan ingat terhadpa apa saja yang terlihat.
Sekilas apa yang terlihat harus segera dicari, dikembalikan kepad kebiasaan yang dahulu pernah
ada. Oleh karena itu orang harus teliti melihat tanda-tanda, agar sikap yang diambil berakhir
biak. Seyogyanya orang tinggal di kota dan mengabdi raja, agar dapat mengetahui kajadiankejadian
di dunia (Negara) ini. Lebih-lebih kalau memang sudah menjadi tugasnya, seperti apa
yang talah diutarakan. Ua atas semuanya tentu mengharap kasih Tuhan agar kehendaknya dapat
terlaksana, dan hanya Karen kodrat Allah-lah yang dapat menggagalkannya. Oleh karena dialam
jamn Kalisengara itu belu dapat terlaksana, maka pada jaman Kalitoga kinilah gantinya. Orang
harus mengucap syukur pada Allah, dan seterusnya suapya manusia tetap setia akan sikap yang
baik itu. Sebab dalam duani ini banyak maksud yang hanya ingin seenaknya saja. Hal-hal yang
mengakibatkan buruk harus disisihkan, dan yang mendatangkan selamat jelas didukung. Memang
demikian sikap yang umum atau wajar, hal yang jelak tidak mau, hal yang baik senang sekali, itu
saja masih tergolong sikap madya, belum yang utama. Untuk menjadi orang utama ini memang
berat, sukar dicapai, kecuali para pendeta atau wali, yang memang tugas mereka. Hatinya sudah
seluas lautan tak akan terkejut melihat perubahan keadaan duani ini. Tujaun hatinya hanya
ingin dekat dengan Tuhan. Ingin raganya hilang dikumpulkan denga Allah. Demikianlah para
ulama tadi, hati dan tindakannya telah serasi untuk menjalani hidup ini.
Di dalam hidup seseorang tak boleh salah lihat, apa yang dituju, harus mampu mengetrapkan
tindakannya. Untuk ini jalan (cara) yang termudah ialah dengan perantaraan tutur kata. Sesuatu
yang sudah dikatakan harus selalu diingat, menyenangkan atau tidak, jangan sampai kata itu
salah, dan tertuangkan dalam sikap yang tak terpuji. Meraba-raba di angkasa, setiap hari selalu
berjumpa dengan sikap seperti itu. Maka seseoarang seyogyanya jangan memulai apabila tak
mempunyai pendirian. Berjalan diatas jalan yang lurus. Lurus dari kehendak hati. Apabila sudah
demikian maka kehendak itu harus dipegang teguh. Hendaknya orang itu mencari keselamatan,
ya keselamatan utnuk melindungi dan membuat tenteram anak cucu, seperti yang memberi
petuah baik pada siswanya.
(87)
Dengan maksud membentuk hatu yang teruh jernih terpusat ke satu tujuan ialah Hyang Maha
Suci. Merubah segala sifat lba yang ada ada dirinya, agar tidak menghalangi makdsud baik itu.
Dengan berhati-hati serta sikap yang luwes, orang supaya berusaha memiliki sifat-sifat
kesemuanya tadi. Apabila sudah dapat tercakup, maka seyogyanya sifat itu diterapkan denga
caermat. Tidak perlu menonjolkan sifat tersebut yang sebenarnya justur dapat melaksanakan
denga sungguh-sungguh sehinga dapat memperoleh dan mengolah uraian-uraian ini.
Penggubah tidak perlu memperpanjang petuah-petuah tersebut, cukup diselesaikan hingga
sekian. Karangan ini dibuat di Surakarta, dan oleh penggubah diberinya nama Kitab Sasana Sunu

DICOPY DARI  JAWA_AMPUH.BLOGSPOT.COM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar