SESANTI

SURA DIRA JAYANINGRAT LEBUR DENING PANGASTUTI

Senin, 19 Januari 2015

TEMBANG ILIR - ILIR

ilir ilir
tandure wis sumilir
tak ijo royo-royo
tak senggoh temanten anyar
bocah angon-bocah angon penekno blimbing kuwi
lunyu-lunyu penekno kanggo mbasuh dodot iro
dodot iro-dodot iro kumitir bedahing pinggir
dondom ono jlumatono kanggo sebo mengko sore
mumpung padang rembulane
mumpung jembar kalangane
yo surak-ooooo
surak horeee



Syair di ata merupakan gubahan atau anggitan dari para sunan wali songo yang memiliki nurul basyiroh atau penglihatan batin. Percaya atau tidak atas kewalian meraka itu terserah ananda, yang jelas rupanya syair ini masih relevan digunakan hingga zaman sekarang, walaupun dilahirkan beratus tahun yang lalu. dan, yang jelas bukan soal besar,siapa yang membuat. dan itulah hakekat dari tujuan digubahnya syair ini, bukan semata memenuhi keinginan bersyair belaka atau untuk mencari ketenaran nama. Namun adalah sebagai wujud perjuangan untuk bisa menek blimbing dalam meraih buah, yang segar dan bermanfaat. Seperti itulah seharusnya orang berkarya, beribadah. Semata hanya niat karena ikhlas memburu ridlo dari Allah Swt sebagai sang juragan yang menyuruh kita untuk angon, dan memanjat / ibadah dalam dalam rangka taqorrub ilallah. sekelumit prolog yang mungkin hanya seonggok pasir ditengah berjuta gurun pasir makna yang bisa dipetik dari gubahan syair ilir ilir ini
Memang Bukan qur'an atau hadist yang tidak lepas dari kesalahan, akan tetapi melihat kekihlasan penyair dalam menggubah, sehingga Allah memberikan kelebihan sysir ini atas syair yang lain, bandingkan nilai rasa, cipta dan estetika serta keakraban bahasa

Ilir-ilir 
Dari segi bahasa Ilir berarti kipas besar dari bambu, yang biasanya digunakan para ibu di desa untuk mendinginkan nasi saat selesai ditanak, agar dapat segera dikonsumsi. Atau digunakan oleh kaum lelaki atau bapak untuk membuat asap saat mengasapi hewan ternak dengan tujuan untuk mengusir nyamuk dikandang dalam bahasa jawa kegiatan tersebut disebut diang. Atau kipas yang digunakan oleh orang-orang desa khususnya kaum tua untuk kipas-kipas saat udara sedang gerah atau panas. Pada intinya kegunaan Ilir ( baca : Kipas ) untuk mengalirkan udara agar sejuk atau segar, sehingga bila dilihat dari penggunaan ilir di pedesaan maka berfungsi untuk mendinginkan nasi, membuat asap, dan menyejukkan udara. Dengan kata lain ilir bermanfaat untuk menjadikan keadaan lebih nyaman dan tidak membosankan.
Maka, ini merupakan sebuah ajakan atau penyemangat bagi para pembaca tembang untuk dapat mengambil falsafah dari kegiatan ilir-ilir. Yang mana di ajak untuk tidak membiarkan keadaan sekitar menjadi panas, gerah dan tidak nyaman. Sehingga menuntut untuk berbuat lebih, dapat mengubah keadaan, sekalipun hanya mengalirkan udara. Kita dituntut untuk sebisa mungkin membuat sebuah perubahan sekecil apapun, dan diupayakan dengan perubahan tersebut dapat berguna bagi kehidupan pribadi, lingkungan maupun orang lain.
Dari sepenggalah kata ilir-ilir ini pembaca digugah hatinya untuk menjadi manusia yang kreatif dan mampu mendayagunakan sumberdaya yang ada walaupun sekecil apapun itu, biarpun hanya sekedar udara. Maka bukan saatnya untuk berpangku tangan , segeralah belajar, beribadah, berkarya agar segala sumberdaya yang ada, yang meilmpah yang dianugrahkan Allah kepada manusai dapat termanafaatkan dan tersalurkan dengan baik.
Seperti halnya waktu, yang telah diberikan Oleh Allah secara Cuma-Cuma tanpa biaya sepeserpun, seyogyanya kita pergunakan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan posisi kita di dunia yang akan diterngakan pada bait syair berikutnya.
Selain daripada itu dari kegiatan ilir-ilir ini rupanya tidak hanya sekedar meng-iliri sesuatu yang mana tanpa arah dan tujuan. Sehingga si penulis memberikan isyarah, bahwa setiap kegiatan sekecil apapun harus memiliki esensi atau kepentingan yang tidak hanya untuk diri kita sendiri melainkan juga orang lain. Lebih dari itu seyogyanya setiap kegiatan kita juga dapat bermanfaat untuk kehidupan kelak di alam kelanggengan / akhirat. Sehingga setiap detik dan gerak yang kita tempuh harus bernilai ibadah dan kemanusiaan.
Perlu diingat bahwa setiap detik dan nafas yang kita lalui tidak akan kembali lagi, atau terulang lagi. Agar kita tidak getun ing tembe mburi ( pen : menyesal di akhir ) maka gunakan waktu dan keadaan ini sebaik-baiknya, mulai sekarang, mulai dari yang kecil dan mulai dari diri sendiri. Seperti orang ngiliri ia tidak butuh bantuan banyak orang, namun ia bertekad bagaimna dapat memberi yang terbaik, kapada diri, lingkungan dan orang lain, dengan kata lain tidak perlu menunggu orang lain bergerak terlebih dahulu. Begitu jugalah dengan berbuat baik.